Jumat, 03 Desember 2010

Politisasi Kasus TKI

Politisasi Kasus TKI.
Luar biasa hebatnya pemberitaan media massa atas kasus penyiksaan TKI diluar negeri akhir-akhir ini. Media telah menempatkan penyiksaan TKI luar negeri sebagai berita istimewa melebihi kasus mafia hukum dan Korupsi. Berbagai elemen masyarakatpun angkat bicara dengan porsinya masing-masing untuk mendudukan permasalahan TKI ada dimana.
Melihat opini yang berkembang, Sejumlah pandangan terkesan tidak berimbang dan cenderung memberi vonis bahwa TKI adalah korban kekerasan yang tidak pernah berhenti karena rule of law pemerintah terlalu lemah. Tidak salah memang, jika aspek hukum menjadi persoalan yang dijadikan acuan utama. Tapi bila kita melihat penempatan TKI secara lebih luas, maka akan ada sejumlah persoalan lain terkait lemahnya rule of law tadi.
Sesungguhnya, pemberitaan gencar media massa baik cetak maupun elektronik yang kita lihat adalah pandangan atas kelalaian Negara dalam tata kelola perlindungan hukum bagi TKI. Pandangan yang muncul banyak mempersoalkan perlindungan TKI oleh Negara dari siksaan semata tanpa melihat aspek kesuksesan bagi sebagian besar TKI dan aspek keuntungan Negara yang lebih luas dari sector ekonomi dan psikososialnya. Termasuk kondisi ril Negara ditengah kebutuhan dan kemiskinan sebagian rakyat yang belum bisa diatasi Negara.
Secara hukum, persoalan TKI akan berada didalam wilayah ‘ Dua Negara ‘ , Dimana setiap negara ditetapkan bertanggung jawab atas terjadinya tindakan kesalahan. Pertanyaan, apakah penyiksaan TKI sudah mendapat perlindungan dari Negara ?. Sepanjang kejadian siksaan terhadap TKI, bisa dibilang Negara telah lalai dalam tanggung-jawabnya. Hampir dipastikan baik Negara asal maupun sejumlah Negara penempatan tidak berfungsi efektif memberi pelayanan dan perlindungan TKI.
Dalam situasi Negara mengalami situasi politik yang panas, dan tata kelola hukum pemerintah yg lemah, maka penyiksaan TKI harus diakui menjadi issu strategis dilibatkan yang kemudian dipolitisir untuk melengkapi buruknya pengelolaan hukum Negara oleh pemerintahan yang ada. Politisasi kasus TKI-pun semakin lancar dan membias karena dukungan media massa lebih menyukai pemberitaan bermasalah dari pada kesuksesan TKI yang jauh lebih besar.
Berangkat dari sejarah penempatan TKI keluar negeri yang awalnya dirintis pihak swasta kemudian Negara terlibat melalui UU dan sejumlah peraturan untuk memberi adanya jaminan perlindungan serta peningkatan kualitas, maka penempatan TKI luar negeri dengan sendirinya telah menjadi program nasional yang sama dengan program transmigrasi maupun pengentasan kemiskinan. Namun dalam implementasinya, TKI hanya menjadi subyek untuk mewajibkan mengikuti aturan-aturan Negara tanpa mendapat pelayanan dan perlindungan maksimal.
Munculnya pilihan menjadi TKI bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang semakin hari terus meningkat tidak juga bisa kita salahkan. Fakta- fakta yang memberi gambaran obyektif dan langsung dari kemiskinan nyata banyak yang sukses menjadi TKI didepan mata , Lantas dengan keterbatasan berpikir, hanya menjadi TKI lah bagi sebagian rakyat bisa melepaskan diri dari kungkungan ekonomi dinegeri sendiri. Sebuah fakta memang yang harus dilakukan oleh sebagian besar rakyat miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk berkompetitif dengan ketidak-tersediaan lapangan kerja dalam negeri.
Keterlibatan Negara terhadap penempatan dan perlindungan TKI memang memberi keuntungan, disatu hal terbukti membawa dampak social yg baik dan member i keuntungan dalam sector ekonomi melalui devisa. Namun melihat kemiskinan nyata yg signifikan serta kasus yang dialami TKI di luar negeri yang kehilangan perlindungan , maka Negara terpojokan dalam posisi dilematis. Disatu sisi Negara berhadapan kemiskinan dan disisi lain belum mampu memberi perlindungan optimal bagi TKI.
Pemerintah serta PPTKIS sebagai wakil Negara dalam pelaksana penempatan TKI senantiasa dihujat sebagai biang kerok lemahnya perlindungan dan peningkatan kualitas TKI, karena dituding pemalsuan document dan sebagainya. Tetapi semua pihak tidak mau melihat bahwa pemalsuan document juga banyak dilakukan oleh TKI dan keluarganya . Tindakan ini terpaksa dilakukan karena hukum Negara seperti pembatasan usia minimal 21 tahun oleh UU 39 Tahun 2004, dianggap telah membatasi hak mereka untuk bekerja dan mendapat kehidupan layak.
Bicara perlindungan dan peningkatan kualitas TKI dalam Negeri , harus dilihat dari sejumlah ketentuan yang dibuat pemerintah. Ketentuan TKI diwajibkan menjalani tahapan proses peningkatan kualitas dan perlindungan dalam negeri seperti pemeriksaan Kesehatan, BLK-LN, Paspor, Ansuransi Pra pemberangkatan dan Ansuransi pemberangkatan telah di ikuti dan sepenuhnya dibiayai dari dana Negara penempatan, bukan dana APBN. Artinya Negara penempatan cukup koperatif terkait upaya peningkatan kualitas dan perlindungan TKI.
Aspek lainya adalah multiple-efek, dimana TKI memberi masukan signifikan bagi penerbangan kita, pedagang kaki –lima disemua pos pelayaan TKI, dan miliaran rupiah masuk di tiap daerah dari kiriman TKI tiap hari . Termasuk dana pembinaan dan perlindungan sebesar 15 Dollar per TKI kepada pemerintah sejak 25 tahun lalu yang hingga kini tidak jelas kemana arah pengelolaannya. Cukup jelas begitu besar dampak positif dari program penempatan dan perlindungan TKI. Namun, persoalan penting disini adalah keterlibatan Negara yang belum optimal dalam peningkatan kualitas kerja dan kualitas mentalitas TKI. Dua aspek ini cenderung menjadi sumber masalah munculnya sejumlah kasus, apalagi pihak penggunan jasa ( majikan ) merasa telah mengeluarkan banyak anggaran.
Persoalan menjadi lain ketika muncul kasus siksaan terhadap TKI diluar negeri oleh sedikit orang seperti Arab Saudi misalnya, masyarakat begitu cepat bereaksi dan menghujat suatu Negara tanpa melihat berbagai aspek lain. Persoalan terjadi penyeiksaan sebenarnya bisa dikatakan konsekwensi resiko yang relative muncul dimana saja. Tetapi atas desekan kebutuhan dan pendapatan yang lebih baik, animo menjadi TKI mengalahkan resiko. TKI telah mengambil jalan sendiri dan tidak melihat ada kepedulian dari dalam Negeri yang menjamin perubahan nasib mereka.
Adakah kita menyadari bagaimana sulitnya rakyat miskin mempertahankan hidup dengan kemampuan sebatas menjadi pembantu rumah tangga, Apakah ada jaminan pemerintah untuk melahirkan peraturan mewajibkan setiap pengguna jasa pembantu rumah tanggaa dalam negeri ditetapkan dengan gaji mencukupi. Adakah inisiatif DPR RI untuk membuat UU yang lebih memberi pelayanan dan perlindungan dengan baik, atau adakah diantara kita mau memikirkan kemiskinan mereka , kalau bukan setelah mereka menjadi TKI dan disiksa, dan sederet pertanyaan lain yg menyangkut adanya jaminan kehidupan yang layak bagi rakyat miskin.
Jika kita melihat dengan rasional yang obyektif, maka pantas kita bertanya, bukankah Negara-Negara penempatan seperti Negara - Negara Arab dan Negara Asia pasifik lainnya telah banyak membantu perbaikan nasib sebagian rakyat kita. Bukankah Negara –Negara tersebut mau menerima masyarakat kita karena melihat factor keagamaan dan kemiskinan. Mungkinkah TKI kita yang hanya memiliki kemampuan sebatas pembantu rumah tangga diterima di Negara Eropa, kalau jika bukan Negara-Negara Arab.
Sangat disayangkan oleh kita semua, jika benar persoalan TKI sekarang telah dipolitisir oleh kepentingan politik atau telah dimanfaatkan kepentingan kelompok tertentu yang memiliki motifasi untuk mengalihkan dominasi penempatan TKI pada wilayah Negara tertentu.
Kita tidak pantas bersikap munafik dengan alasan harga diri, tetapi tidak mampu memahami masalah untuk asal bicara sehingga merendahkan nilai intelektual kita. Fakta Prosentase keuntungan Negara dalam sector ekonomi melalui devisa dan pengiriman gaji serta multi efek lain jauh lebih tinggi dibanding kegagalan karena kasus. Begitupun dengan prosentase fakta dalam sector psikososial , dimana menjadi TKI telah mampu mengangkat harkat martabat atas kemiskinan , pola pikir dan pola hidup mereka lebih baik, bukan oleh kita dan Negara. Justeru kita dan Negara telah mengambil banyak manfaat dari semangat TKI.
Saya ingin bandingkan antara penempatan TKI keluar negeri dengan fakta-fakta penyimpangan lain yang marak terjadi dalam negeri ini. Apakah Negara lebih diuntungkan dari dampak Mafia hukum, Korupsi, illegal longing, illegal fishing dan perusakan lingkungan yang terjadi begitu sistimatis ?. Tentu dapat kita gambarkan, bukankah ini jauh lebih merusak harga diri dan ancaman masa depan rakyat dan Negara. Sementara, Penempatan TKI ke luar Negeri lebih memberi efek positif dibanding buruknya. Dan bisa saya katakan, tidak sedikit rakyat menjadi TKI karena korban dari penyimpangan sistimatis di atas.
Untuk Negara saat ini, persoalan perlindungan dan kualitas TKI menjadi PR penting untuk diselesaikan. Solusi perlindungan harus ditempuh dengan langkah diplomatic yang optimal dengan Negara penempatan yang lebih mengacu pada nilai-nikai kemanusiaan dengan merujuk hukum migrant internasional. Dan pihak-pihak lain supaya lebih arif mendudukan persoalan sehingga tidak sekedar bisa memberi hujatan jika TKI menghadapi masalah karena persoalan TKI adalah persoalan Negara yang juga menjadi persoalan kita semua.*****

Tidak ada komentar: