Senin, 15 November 2010

Jangan Salahkan Gayus

Jangan Salahkan Gayus

Perjalanan panjang upaya mewujudkan Kepolisian profesional dan mandiri yang dimulai sebelum reformasi digulirkan, ternyata belum mampu merubah karakter buruk anggota kepolisian kita. Persoalan yang terus menguak atas bobroknya mental anggota kepolisian akhir-akhir ini sebenarnya tidak perlu dikagetkan banyak pihak.

Kebobrokan kerja kepolisian itu sendiri sebenarnya telah menjadi tradisi panjang kerja kepolisian yang memang selama itupun tertutup rapat.

Semua pihak pantas bersyukur dengan kebebasan informasi yang berkembang pesat, sehingga ada jaminan transparansi oleh lembaga atau pejabat publik untuk mudah dilihat masyarakat. Namun disini ( Kepolisian ) masih menunjukan egoitiemenya sehingga apa yg disebut era kebebasan dianggap bisa disiasati oleh pengalaman yg mereka miliki

Praktek - praktek yang sering menyimpang dari tugas dan kewenangan anggota kepolisian dalam penegakan hukum tidak sejalan dengan semangat institusinya sendiri. Tidak sedikit kita temukan bahwa anggota polisi dari yang berpangkat rendah hingga berbintang secara sadar merusak citra institusinya.

Kali ini kita harus memuji Gayus Tambunan..!. terlepas motifasinya hanya ingin menghirup udara segar atau sekedar ingin menonton tenis di bali. Tidak bisa kita salahkan gayus karena bisa keluar tahanan super ketat. Namun secara sadar bahwa Gayus telah sukses untuk kesekian kalinya merobek sikap disiplin dan egoisme kepolisian. Anggota kepolisian bukan tidak bisa disiplin sebagai aparat penegak hukum.., namun mereka cenderung tidak mau memahami tugas dan kewenangannya.

Karena itu, selama kepolisian kita belum mau memahami diri dan posisi institusinya dgn benar, maka akan sulit bagi rakyat untuk mempercayai kinerja Kepolisian. Mau tidak mau dan harus disadari bahwa bobroknya institusi Kepolisian kita sesungguhnya dirusak dari dalam anggotanya sendiri.

Tentu kita tidak percaya keluarnya Gayus dengan mudah dari tahanan pasukan inti kepolisian ( Brimob ) hanya menyalahkan seorang berpengkat Kompol, namun kita lebih meyakini ada keterlibatan jenderal didalamnya. Gayus hanyalah seorang tersangka yang ditahan boleh -boleh saja menggunakan segala cara untuk bisa menghirup udara bebas atau ingin nonton tenis di Bali.

Kemudahan Gayus menikmati udara bebas inilah yang patut kita pertanyakan. Jadi kita jangan dulu menyalahkan Gayus. Disini jelas sekali kita melihat bahwa Gayus telah memiliki hubungan tertentu dan cukup luas dengan jajaran Mabes Polri. Dengan posisi ini, kemungkinan bahwa Gayus selama menjalani proses hukum mafia pajak telah melakukan banyak konspirasi dengan sejumlah jenderal lain.

Karena itu, Gayus disatu sisi bisa menjadi ancaman dan disisi lain Gayus harus dimanjakan. Timbal-balik untuk saling menyenangkan ini bukan karena tidak ada sebab akibatnya. Inilah yang dimaksud indikasi terjadi konspirasi besar dalam kasus mafia pajak yang melibatkan banyak pihak dilembaga hukum kita.

Melihat apa yang sedang terjadi pada jajaran Mabes Polri sekarang ini, nampaknya Mabes Polri berusaha memilih untuk saling menutupi dan melindungi citra pribadi-pribadi jajaran internalnya dari pada melihat dan mementingan institusinya. Jika kasus ini pun tidak dibuka secara transparan untuk di usut, maka habislah cita-cita reformasi kepolisian yg telah dirancang dan diperjuangkan oleh pendahulu-pendahulu mereka. Kalau begini adanya, maka reformasi Polri tahap ke II memang pantas untuk dilakukan****

Minggu, 07 November 2010

PNS Perlu Ditertibkan

PNS Perlu Ditertibkan
Situasi sosial anak-anak kita dalam ancaman besar kehidupannya. Mereka tumbuh dalam situasi sosial yang tidak menguntungkan. Dimana situasi sosial anak-anak kita di perkotaan tidak lagi berbeda jauh dengan anak-anak yang lahir dan tumbuh di desa.
Saya masih ingat, ketika didesa dulu, praktis yang mendidik anak-anak adalah warga desa dengan pola hidup yang relatif terkontrol. Ada ritme kehidupan anak - anak yang menjadi kurikulum aktivitas sehari-hari. Saya masih ingat, kalau pagi jam sekolah tapi tidak masuk sekolah karena membolos, ada rasa malu kalau keluyuran di jalan. keluarga dan tetangga dekat pasti menegur, mengapa tidak masuk sekolah ?.
Kemudian, kalau sore adalah jam bermain, permainan yang dimainkan selalu mendorong kecerdasan emosional karena bersifat sosial. Bukan asik didepan komputer bermain sendirian. Anak-anak di desa dulu, memiliki permainan yang juga menumbuhkan kreativitas dan imajinasi ketika mengerjakan tugas-tugas sekolah seperti membuat kapal dari kulit kelapa atau membuat penghitam papan tulis dengan dedaunan dan bubuk baterai mati. sekarang anak-anak kota tidak lagi memiliki permainan seperti itu.
Sekarang, bukan lagi permaian tradisional yg telah hilang atau permainan computer yang mengusik emosi social anak-anak kita. Tetapi telah muncul situasi social baru yang diciptakan oleh ketidaksadaran moral para aparatur pemerintah sebagai pelayan public. Mereka pejabat pemerintahan ( PNS ) ini tidak lagi bisa menjadi panutan anak-anak kita.
Di deso atau di kota, mereka itu sama perilakunya, yaitu suka bolos dari kantor lantas bergerombolan duduk bercerita sambil bermain catur dan membaca Koran di warung-warung sepanjang jalan sekitar kantor mereka pada jam kerja. Situasi yang tidak mencerminkan keteladanan ini tanpa mereka sadari atau sengaja tidak mau tahu, menjadi tontonan anak-anak kita baik yang akan berangkat atau pulang sekolah.
Hal yang membuat saya sangat kecewa, dimana anak-anak kita kehilangan pendidikan karakter dan pertumbuhan jiwanya terganggu. Anak-anak kita tidak lagi tumbuh ceria. Setiap mau kesekolah atau pulang sekolah selalu melihat PNS duduk diwarung-warung sambil berteriak , canda gurau kadang kala keluar bahasa kotor sepanjang jalanan umum di waktu jam kerja.
Jika perilaku buruk PNS ini tidak cepat ditertibkan, dampak buruk terhadap pertumbuhan jiwa anak-anak pastilah terganggu. Padahal anak – anak kitalah penerus bangsa ini. ****

Pemilihan Kepala Daerah dan Aspek Yang Mendasarinya dalam Pembangunan Daerah

Pemilihan Kepala Daerah dan Aspek yang Mendasarinya Dalam Pembangunan Daerah.

Secara umum, pilkada memiliki dua landasan konstitusional dan historis, dimana pasal 18 ayat ( 4 ) hasil amandemen keempat Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah dipilih secara demokratis. Rumusan konstitusi ini membuka ruang interprestasi bahwa pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Pada zaman Belanda dan jepang, kepala daerah tidak dipilih. Pemilukada ditentukan dengan sistim penunjukan/ pengangkatan oleh penguasa colonial atau gubernur Jenderal. Jadi sistim rekruitmen kepala daerah saat itu mengabaikan nilai-nilai demokrasi.
Pada masa Orde lama dan Orde Baru, pemilihan kepala daerah merupakan wilayah eksekutif , dan elit politik. Presiden memiliki peran penting dalam menetukan kepala daerah. Pada masa UU No.5 Tahun 1974, peranan Presiden dan Menteri dalam negeri sangat besan dan menentukan. Pejabat-pejabat Sekretaris Presiden, Depertemen dalam Negeri, Mabes ABRI sampai Kodam pun turut ambil peran.
Pada saat UU No. 22 Tahun 1999 menggatikan UU No. 5 Tahun 1974, demokrasi rakyat semakin jauh. Peranan anggota DPRD terlampau besar tidak tertandingi. Dalam hampir setiap pilkada tercium bau tak sedap : Politik uang, campurtangan elit partai baik pusat maupun daerah ikut menentukan calon kepala daerah , sehingga terjadi ajang transaksi yang melibatkan elit-elit politik.
Pembenahan sistim demokrasi dalam Pemilukada, maka UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan memiliki hubungan erat dengan UU No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggaraan pemilu, sedikitnya tiga aspek yang mendasarinya perlu dijadikan acuan dalam pengawasan pemilukada.
1. Aspek Filosofi
Pemilihan langsung berarti mengembalikan “ hak hak dasar “ masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekruitmen politik local secara demokrasi. Dalam konteks itu, Negara memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menentukan sendiri pemimpin mereka, serta menentukan sendiri segala bentuk kebijaksanaan yang menyangkut harkat hidup rakyat di daerah. Sehubungan dengan pengembalian “ hak hak dasar “ tersebut, pemilukada scara langsung menikili kandungan asumsi seperti ( a ) sumber kekuasaan adalah rakyat, ( b ) penarikan kedaulatan yang dititipkan kepada DPRD. ( c ) rakyat adalah subyek demokrasi dan ( d ) demokrasi langsung merupakan sistim politik terbaik dari yang ada.

2. Aspek Politis
Pemilukada merupakan moment untuk melakukan recruitment politik yang diselenggarakan secara teratur dengan tenggang waktu yang jelas, kompetitif, jujur dan adil. Untuk mengukur apakah pemilukada memberikan dampak besar atau kecil terhadap pembangunan di daerah, maka yang perlu dilihat adalah ( a ) kinerja pejabat politik yang dipilih melalui pemilikada, ( b ) rotasi kekuasaan secara teratur dan damai dari seorang kepala daerah kepada kepala daerah lainya atau dari satu partai politik ke partai politik lainnya, ( c ) rekruitmen terbuka untuk semua orang yang memenuhi syarat dengan kompetensi yang wajar sesuai dengan aturan yang sudah disepakati, ( d ) adanya akuntabilitas public dan ( e ) partisipasi politik massif dari masyarakat.

3. Aspek sosiologis
Pemilikada melibatkan banyak pihak seperti banyak calon, partai politik dan massa pemilih. Pemilih dalam pemilukada merupakan subyek politik utama. Karena itu, pemilukada langsung sering disebut pula sebagai kemenangan demokrasi massa atas demokrasi perwakilan. Dalam sistim demokrasi, rakyat adalah pemilik kedaulatan sejati sehingga sudah sewajarnya apabila kepercayaan dan amanah yang diberikan pada wakil rakyat tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan baik, maka kepercayaan dan amanah tersebut dikembalikan pada pemiliknya sendiri. Pemilihan kepala daerah bukan sekedar wujud pengembalian kadaulatan di tangan rakyat, lebih dari itu rakyat berperan langsung. Biarkan rakyat memilih pemimpin dan mempengaruhi kebijakan-kebijakan public di daerah yang menyentuh kepentingan mereka sendiri. Negara berkewajiban memfasilitasi rakyat mewujudkan kedaulatan tersebut.***
( tulisan ini akan bersambung…..pada bagian kedua “masalah pilkada “,)

Masalah Pemilukada

Masalah Pemilukada
Secara umum, pemilukada terdiri atas tahapan masa persiapan dan pelaksanaan. Berdasarkan tahapan demikian, setiap pemilukada langsung di sejumlah daerah pada tahun 2010 ini, memberi catatan terkait masalah yang terjadi. Catatan tersebut merupakan fkta – fakta lapangan pelaksanaan pemilukada di tanah air.
1.Masalah Anggaran.
Anggaran merupakan factor penting dalam penyelenggaraan pemilukada karena semua sarana , prasarana dan sumber daya pemilukada sangat bergantung pada ketersediaan anggaran. Pasal 112 UU No. 32 Tahun 2004, menegaskan bahwa kegiatan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dibebankan pada APBD. Namun dalam fakta ditemukan :
a. Anggaran pemilukada tidak dikeluarkan oleh Bupati karena yang bersangkutan dicoret KPUD sebagai calon incumbent ( Kab. Flores Timur NTT ).
b. Anggaran untuk pemilukada terlampau besar karena akan melalui putaran kedua untuk menentukan pemenang ( jika suara tdk mencapai 50 + 1 % ). Hal ini tidak melanggar peraturan , namun membuat anggaran sangat tidak efektif.
c. Sejumlah daerah tidak memiliki anggaran yang cukup menyelenggarakan pemilukada.
Hal ini otomatis menunjukan bahwa setiap daerah memiliki kemampuan berbeda dalam menyiapkan anggaran pemilukada, sehingga pengelolaan anggaran pemilukada oleh Bupati/ walikota dapat menggangu kalender kerja KPUD.
2. Masalah Netralitas Pegawai Negeri.
Pasal 79 ayat ( 4 ) UU No. 32 Tahun 2004 menyebutkan, pasangan calon dilarang melibatkan PNS , anggota TNI dan anggota Kepolisian sebagai peserta kampanye dan juru kampanye dan pemilukada. Namun dalam kenyataannya PNS tetap melakukan kampanye baik secara terselubung maupun terbuka.
Disejumlah daerah, ditemukan PNS terlibat sebagai tim monitoring, tim kampanye dan pengawas lapangan diwilayah mereka masing-masing. Keterlibatan PNS di sejumlah daerah dalam pemilukada kebanyakan karena ketakutan pada calon incumbent atau karena incumbent melakukan intimidasi terhadap birokrasi.
3. Masalah incumbent
Keikutsertaan incumbent dalam pemilukada sering merong-rong kualitas demokrasi yang sesungguhnya merupakan idealisasi pemilukada. Prinsip pemilukada yang jujur dan adil diabaikan karena besarnya ambisi untuk mempertahankan kekuasaan . Beberapa fakta yang ditemukan :
a. Mengintimidasi birokrasi dengan berbagai cara dan metode agar birokrasi melakukan kampanye buat incumbent
b. Memberikan iming – iming kepada pegawai honor untuk diangkat menjadi PNS
c. Menjadikan PNS sebagai organ KPUD terkecil yakni dilevel KPPS
d. Memasang alat peraga kampanye di tempat – tempat yang bertentangan dengan penetapan/keputusan KPUD
e. Mempengaruhi KPUD, Panwaslu daerah, dan kepolisian dengan berbagai fasilitas.
4. Masalah Ketidaknetralan KPUD
KPUD merupakan institusi penyelenggara pemilukada. Sebagai penyelenggara, maka KPUD harus berlaku netral terhadap para kandidat pemilukada dan menjaga independensinya dari berbagai bentuk pengaruh. Namun ada sejumlah fakta yang menunjukan bahwa KPUD bertindak tidak netral, misalnya :
a. KPUD tidak berani mempublikasikan kekayaan incumbent sementara calon lainya dibuplukasikan. Ini bertentangan dengan pasal 67 huruf a UU No 32 tahun 2004 yang menyebutkan bahwa KPUD harus memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara
b. KPUD tidak berani memaksa calon Incumbent untuk memberitahukan daftar kekayaan pribadinya. Padahal pasal 58 huruf I UU No. 32/2004 menyebutkan bahwa salah satu syarat untuk menjadi kepala daerah adalah menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan.
c. Sering mendiskualifikasi calon tanpa alas an yang jelas dan tepat.
Ketidaknetralan KPUD disebabkan oleh karena KPUD mendapatkan fasilitas dari calon. Bentuk fasilitas bisa bermacam – macam, sebagai contoh.., anggota KPUD Bandar Lampung masing –masing mendapat mobil. Hal ini dapat mengakibatkan konflik dan kemarahan dari massa pendukung lain.

Masalah pemilukada dari catatan tahapan pelaksanaannya, memiliki minimal 10 tahapan proses dan setiap tahapan tersebut memiliki substansi masalah masing-masing. Tahapan dan masalah seperti, waktu dan tempat kampanye, verifikasi calon, test kesehatan, rendahnya tingkat partisipasi masyarakat, syah tidaknya surat suara, dan kisruh daftar pemilih tetap ( DPT ). Tahapan dan Masalah ini akan ditulis pada waktu lainya.
Pada dasarnya proses pemilukada mamiliki banyak masalah dan memang harus dievaluasi dan diperbaiki. Karena itu, proses pemilukada yang demokratis harus betul –betul dijalankan. Sehingga hak – hak kedaulatan rakyat dalam demokrasi bisa terwujudkan. Dalam hal ini, untuk mewujudkan pemilikada kedepan yang lancar, jujur, adil, aman dan damai , peran penting Eksekutif dan Legislatif sangat dibutuhkan untuk bisa memperbaiki sejumlah masalah pemilukada di atas.****

Mahasiswa Kita

Mahasiswa Kita
Saya tidak berani bilang mahasiswa akan menjadi generasi yang tidak memiliki kebanggaan untuk bangsa. Namun saya berani bilang , kalau mahasiswa itu penerus bangsa yang menjadi tumpuan dan kebanggaan bangsa. Kebetulan baru-baru ini saya melihat siaran tv, dimana mahasiswa Universitas Negeri Makasar membakar Tiga ruang kampus.
Ditengah suasana perhelatan Pemilukada dan hingar –bingar masyarakat membahas dua perhelatan kebebasan demokrasi dan disiplin sportifitas sepak bola dunia, mahasiwa kita justeru bertindak brutal membakar kampusnya sendiri. Suasana yang mencengangkan itu membuat tidak saja dunia pendidikan kita yang sedang merosot dimata dunia semakin anjlok, tetapi menimbulkan pertanyaan banyak masyarakt, ‘ ada apa dengan mahasiswa kiat ‘.
Tampaknya mahasiswa kita yang muncul di era reformasi dan keterbukaan sekarang bukan hanya bersemangat dengan aksi demo dan kritis, tetapi akhirnya membentuk semangat berkelompok dengan emosi saling serang dan merusak milik bersama. Semangat merusak fasilitas bersama bukanlah suatu perbuatan yang membanggaan, apalagi menakjubkan.
Gelora semangat mahasiswa kita merusak milik bersama berbeda jauh dengan mahasiswa Negara tetangga. Mahasiswa Malaysia, Korea dan Jepang belum pernah kita lihat merusak kampus sendiri. Mereka begitu bangga dan menjaga fasilitas kampusnya hanya karena meraka merasa memiliki dan member manfaat bagi pendidikan mereka dan generasi berikutnya.
Rupanya mahasiswa kita terlalu egoisentris untuk memedulikan sarana pendidikan yang menjadi milik bersama. Bahkan ada yang merusak sarana umum diluar wilayah kampus untuk mewujudkan kebanggaan emosi intelektual mereka.
Ditengah suasana globalisasi yang menjunjung tinggi mazhab kebebasan intelektual, mahasiswa tampa ragu dan malu menyabet predikat brutal dari banyak masyarakat. Sementara ditempat lain sebagian kecil mahasiswa kita berlomba dan bangga menampilkan karya-karya intelektual menciptakan robot. Karne itu, saya tidak berani bilang kalau mahasiswa kita tidak memiliki kebanggaan untuk bangsa, namun saya berani bilang kalau mahasiswa kita akan menjadi kebanggaan bangsa.

Rabu, 03 November 2010

Derita dari Kampus

Derita Dari Kampus.
Mungkin saat ini terjadi jeritan seorang guru, seorang dosen dan orang tua. Mari kita simak dan cermati, berapa lama pendidikan seorang anak sejak dari taman kanak – kanak sampai menjadi seorang sarjana, lalu masih berjuang lagi jika ingin menempuh strata S-2 dan naik lagi S-3. Disini mungkin membutuhkan waktu minimal 20 tahun lamanya. Untuk menjadi seorang professor, seorang dosen perlu berjuang lagi. Bayangkan berapa banyak biaya dan betapa banyak pengorbanan yang mesti dikeluarkan baik tenaga, pikiran, waktu, uang dan emosi.
Membayangkan itu semua maka wajar kalau acara wisuda sarjana merupakan hari kegembiraan dan kebanggaan dari semua lelah dan penantian panjang. Orang tua ikut antusias menghadiri hari bersejarah itu, mengabadikannya dengan berfoto ria. Para wisudawan mengenakan pakaian toga simbol kelahiran kembali sebagai orang yang telah dewasa secara intelektual.
Demikianlah , mereka dengan bekal kesarjanaan lalu menapaki jalan hidup lebih lanjut, ada yang berkarier sebagai akademisi di lingkungan kampus, dibirokrasi pemerintah maupun di sector swasta. Akhir-akhir ini, seorang guru ataupu dosen dibuat sedih oleh Pemberitaan media tentang skandal korupsi yang melanda banyak orang yang berlatar belakang pendidikannya sarjana, akademisi dan professor membuat jantung guru dan dosen tertusuk jarum.
Tentu, guru dan dosen bertanya-tanya.Ada apa dengan dunia pendidikan kita ?. Secara teoritis – normatif, seorang sarjana pasti paham bahwa korupsi itu jahat, ibarat virus perusak jaringan birokrasi yang berdampak kelumpuhan.
Guru dan dosen kembali bertanya-tanya. Apakah pendidikan yang salah, atau mental pejabat yang rapuh, ataukah sistim dan kultur birokrasi kita yang terlalu ganas dan menggilas siapapun yang bergabung…?, kiranya sulit untuk dijawab. Namun yang pasti, guru dan dosen tidak menghendaki mahasiswanya menanggalkan nilai integritasnya.
Mereka guru dan dosen menginginkan suasana diluar kampus memberikan inspirsi dan motifasi kepada mahasiswa bahwa jalan terbaik untuk sukses adalah belajar keras, menjaga integritas dan mengembangkan keahlian serta keterampilan. Bukan terjebak oleh kerja birokrasi yang hanya menghabiskan APBN untuk membayar gaji bulanan dan biaya proyek yang menjadi perangsang para koruptor.
Derita guru dan dosen semakin menjadi, ketika semua aktivis mahasiswa menggebu-gebu teriak anti korupsi, ketika bergabung ke partai politik atau birokrasi secara drastis berubah gaya hidup dan pola pikirnya. Mereka mahasiswa masuk kearah kultur permainan menghalalkan segala cara. Bertahun – tahun belajar untuk menjadi sarjana dengan teori dan etika agar mendapat lapangan kerja, dicungkir-balikan oleh kerasnya godaan.
Mungkin saat ini, guru dan dosen membayangkan. Setiap tahun puluhan ribu sarjana diwisuda, namun disaat bersamaan akan selalu muncul kepedihan dan pesimisme akan situasi diluar kampus yang banyak tersdia lapangan kerja berkultur busuk. ****

Rasionalitas dan Gaya Hidup

Rasionalitas dan Gaya Hidup.
Masyarakat memiliki strata – strata social sebagai harga diri. Strata atau kelas ini juga mempunyai banyak referensi yang berbeda-beda. Mereka yang terlahir dengan darah biru akan diposisikan pada strata social tinggi. Ada yang berdasarkan kasta berdasarkan pemahaman seperti masyarakat Hindu yang terjaga secara turun temurun. Dilingkungan masyarakat Jawa ada keluarga yang mengawetkan strata dengan mencantumkan gelar raden.
Dalam lingkungan pesantren anak kiai sering dipanggil Gus, menunjukan bahwa dia masih keturunan darah biru yang mesti dicintai dan dihormati oleh kalangan santri dan masyarakat. Tak ketinggalan juga dilingkungan minoritas turunan arab sering dipanggil Haba”ib atau al- Habib yang dicintai dan dihormati sebagian masyarakat karena alasan mewarisi darah rasulullah SAW.
Dengan kemajuan dunia pendidikan, strata social yang berlandaskan referensi primordial yaitu keunggulan hanya berdasarkan kelahiran dan keturunan mulai tergeser oleh rasionalitas keunggulan prestasi akademis-keilmuan yang kemudian diabadikan dengan titel kesarjanaan. Kalau dulu orang bangga dengan titel raden yang disingkat Rd, sekarang tersaingi oleh titel kampus doktor dengan singkatan Dr.
Di birokrasi kekuasaan, strata social birokrasi ini sangat besar pengaruhnya karena memiliki efek kekuasaan dan ekonomi. Hanya saja masa berlakunya tidak bertahan secara permanen. Dia bersifat sementara dalam posisi legalitas yang sah.
Cerita – cerita di atas hanya ingin menekankan satu hal bahwa setiap kominitas selalu melahirkan format pyramidal dengan referensi dan rasionalitas yang beraneka ragam. “ Orang boleh saja memperjuangkan idiologi masyarakat tampa kelas, semua sama kedudukannya dimata Tuhan dan didepan hukum, tapi strata dan hierarki social tetap saja ada”. ( Prof. DR. Komaruddin Hidayat ).
Gaya Hidup.
Dalam basa-basi dengan teman-teman dari kalangan kelas menengah pada kategori ekonomi bercerita, sekarang ini banyak orang yang ingin dirinya naik ke strata social atas atau setidaknya dipandang sebagai bagian dari komunitas strata atas. Untuk mencapai keinginannya, mereka terpaksa membeli “ tangga naik “ yang dapat dijadikan pijakan keatas berupa barang – barang bermerek dengan harga yang mahal. Dengan berjibun dan beragam aksesoris berkelas dunia, seseorang telah merasa sudah menjadi bagian dari strata atas.
Celakanya, semua kebutuhan dipakai mulai dari tas, baju, sepatu, jam tangan, mobil, perabot rumah tangga dan aksesoris lain didapat dari uang yang tidak selalu halal, tapi diambil dari hak orang lain dengan jalan korupsi. Ketika seseorang sudah merasa di strata pelataran atas , posisinya ingin selalu pergi di sebuah mal besar yang menawarkan beragam barang dengan harga puluhan dan ratusan juta.
Kebodohan belanja yang bukan merupakan kebutuhan dasar, melainkan hanya aksesoris belaka yang menghabiskan ratusan juta adalah belanja gaya hidup yang tidak rasional dan seseorang mendadak bisa miskin. Berapapun kekayaan akan selalu merasa kurang bila seseorang terjebak dalam domain ini, sebab yang berharga itu hanyalah aksesoris bukan pribadinya. Orang seperti ini harus dikasihani dan ditegur karena mereka terkena krisis kepercayaan diri dan kepribadian.
Mari cermati berbagai skandal korupsi dan kasus porak-porandanya keluarga dari berita di media yang semuanya bersumber dari gaya hidup agar dirinya dipandang sebagai bagian dari strata social atas. Tidak sedikit kita menemukan adanya jual beli izajah ( SMA, Sarjana ) oleh karena seseorang ingin memperoleh strata social akademik dimasyarakat. Padahal sejak dari tradisi didesa, sekolah dan kampus, harga diri seseorang itu dicapai karna ilmunya, pribadinya, dan kontribusinya pada masyarakat banyak. Bukan pada gaya hidupnya yang menjadikan materi dan pangkat sebagai topeng pemanis diri dan pendongkrak status social.
Ternyata jabatan dan kekayaan seseorang tidak selalu dibarengi dengan semakin dewasanya dalam memaknai, menjalani dan menghayati kehidupan agar semakin otentik. Gaya hidup yang cenderung melanggar eksistensi diri selalu berdampak pada rusaknya eksistensi social kemanusiaan secara menyeluruh.****

Rasionalitas dan Gaya Hidup

Rasionalitas dan Gaya Hidup.
Masyarakat memiliki strata – strata social sebagai harga diri. Strata atau kelas ini juga mempunyai banyak referensi yang berbeda-beda. Mereka yang terlahir dengan darah biru akan diposisikan pada strata social tinggi. Ada yang berdasarkan kasta berdasarkan pemahaman seperti masyarakat Hindu yang terjaga secara turun temurun. Dilingkungan masyarakat Jawa ada keluarga yang mengawetkan strata dengan mencantumkan gelar raden.
Dalam lingkungan pesantren anak kiai sering dipanggil Gus, menunjukan bahwa dia masih keturunan darah biru yang mesti dicintai dan dihormati oleh kalangan santri dan masyarakat. Tak ketinggalan juga dilingkungan minoritas turunan arab sering dipanggil Haba”ib atau al- Habib yang dicintai dan dihormati sebagian masyarakat karena alasan mewarisi darah rasulullah SAW.
Dengan kemajuan dunia pendidikan, strata social yang berlandaskan referensi primordial yaitu keunggulan hanya berdasarkan kelahiran dan keturunan mulai tergeser oleh rasionalitas keunggulan prestasi akademis-keilmuan yang kemudian diabadikan dengan titel kesarjanaan. Kalau dulu orang bangga dengan titel raden yang disingkat Rd, sekarang tersaingi oleh titel kampus doktor dengan singkatan Dr.
Di birokrasi kekuasaan, strata social birokrasi ini sangat besar pengaruhnya karena memiliki efek kekuasaan dan ekonomi. Hanya saja masa berlakunya tidak bertahan secara permanen. Dia bersifat sementara dalam posisi legalitas yang sah.
Cerita – cerita di atas hanya ingin menekankan satu hal bahwa setiap kominitas selalu melahirkan format pyramidal dengan referensi dan rasionalitas yang beraneka ragam. “ Orang boleh saja memperjuangkan idiologi masyarakat tampa kelas, semua sama kedudukannya dimata Tuhan dan didepan hukum, tapi strata dan hierarki social tetap saja ada”. ( Prof. DR. Komaruddin Hidayat ).
Gaya Hidup.
Dalam basa-basi dengan teman-teman dari kalangan kelas menengah pada kategori ekonomi bercerita, sekarang ini banyak orang yang ingin dirinya naik ke strata social atas atau setidaknya dipandang sebagai bagian dari komunitas strata atas. Untuk mencapai keinginannya, mereka terpaksa membeli “ tangga naik “ yang dapat dijadikan pijakan keatas berupa barang – barang bermerek dengan harga yang mahal. Dengan berjibun dan beragam aksesoris berkelas dunia, seseorang telah merasa sudah menjadi bagian dari strata atas.
Celakanya, semua kebutuhan dipakai mulai dari tas, baju, sepatu, jam tangan, mobil, perabot rumah tangga dan aksesoris lain didapat dari uang yang tidak selalu halal, tapi diambil dari hak orang lain dengan jalan korupsi. Ketika seseorang sudah merasa di strata pelataran atas , posisinya ingin selalu pergi di sebuah mal besar yang menawarkan beragam barang dengan harga puluhan dan ratusan juta.
Kebodohan belanja yang bukan merupakan kebutuhan dasar, melainkan hanya aksesoris belaka yang menghabiskan ratusan juta adalah belanja gaya hidup yang tidak rasional dan seseorang mendadak bisa miskin. Berapapun kekayaan akan selalu merasa kurang bila seseorang terjebak dalam domain ini, sebab yang berharga itu hanyalah aksesoris bukan pribadinya. Orang seperti ini harus dikasihani dan ditegur karena mereka terkena krisis kepercayaan diri dan kepribadian.
Mari cermati berbagai skandal korupsi dan kasus porak-porandanya keluarga dari berita di media yang semuanya bersumber dari gaya hidup agar dirinya dipandang sebagai bagian dari strata social atas. Tidak sedikit kita menemukan adanya jual beli izajah ( SMA, Sarjana ) oleh karena seseorang ingin memperoleh strata social akademik dimasyarakat. Padahal sejak dari tradisi didesa, sekolah dan kampus, harga diri seseorang itu dicapai karna ilmunya, pribadinya, dan kontribusinya pada masyarakat banyak. Bukan pada gaya hidupnya yang menjadikan materi dan pangkat sebagai topeng pemanis diri dan pendongkrak status social.
Ternyata jabatan dan kekayaan seseorang tidak selalu dibarengi dengan semakin dewasanya dalam memaknai, menjalani dan menghayati kehidupan agar semakin otentik. Gaya hidup yang cenderung melanggar eksistensi diri selalu berdampak pada rusaknya eksistensi social kemanusiaan secara menyeluruh.****

Visi, Misi dan Kekuasaan

Visi, Misi dan Kekuasaan
Seorang teman dalam obrolan ringan dengan saya marah-marah karena masih banyak daerah yang belum bisa berubah lebih baik walau sudah mendapat otonomi. Teman saya dari Jambi ini bersumpah serapah sembari mengutuk pemerintahan daerah karena otonomi yang memberi kewenangan lebih luas untuk membangun daerah sesuai kondisi dan situasi daerah itu sendiri supaya bisa lebih baik, ternyata masih banyak yang tidak mampu menjalankannya.
Saya tidak menduga kalau teman saya itu begitu pintar mengurai berbagai masalah yang terjadi di daerah pasca otonomi diberlakukan. Setelah uraian dan aneka sumpah serapahnya tadi, tiba-tiba teman tadi bertanya pada saya, “ Tahukan bung Umar kenapa pemerintahan daerah banyak yang gagal ? dan faktor apa penyebabnya ..?.
Saya yang sudah terbiasa selalu siap dengan pertanyaan, dengan gagah berani menjawab “ visi, misi dan kekuasaan “. Jawaban yang pendek dan padat dari saya ini tentu saja membuat teman Jambi tadi terheran-heran. ‘ Maksud bung Umar seperti apa’, dia bertanya kembali sejenak kemudian. Karena saya lebih suka menjawab dengan pendekatan sama-sama terlibat ikut berpikir, maka saya mengurai jawaban tadi dengan memberi gambaran beberapa referensi tentang pemimpin yang sukses.
Soekarno bisa menjadi presiden Indonesia pertama bukan karena beliau diculik oleh pemuda yang membawanya ke rengas dengklok untuk dipaksa memproklamasikan kemerdekaan. Tetapi saat itu hanya Bung Karno memiliki visi, misi dan kekuasaan. Pada masa itu sedang vakum kekuasaan. Jepang sudah menyerah, Belanda belum datang juga. Sementara Bung Karno adalah Ketua Partai Nasional Indonesia, jadi pas betul Bung Karno menjadi Presiden. Sesudah itu Indonesia dipimpinnya sesuai dengan visi dan misinya sendiri.
Begitu juga dengan Soeharto, dia jadi Presiden karena punya visi dan misi dan bisa mengambil kekuasaan ditangannya. Selanjutnya Soeharto menjalankan kekuasaan yang dipimpinnya sesuai visi dan misi yang dimilikinya. Sukses Soeharto dibanyak pembangunan selama 32 tahun membuat dia dijuluki Bapak Pembangunan Indonesia ( kita juga tdk mengingkari banyak kelemahannya ).
Dari dua uraian sebagai awal pembahasan bagaimana harus merubah daerah supaya lebih baik, rupanya tidak perlu riset-riset unggulan, tidak perlu debat-debat kusir di DPRD atau voting-votingan. Begitu ada orang yang punya visi dan misi bagus dan dia juga punya kekuasaan, maka dia bisa langsung mengubah daerah atau bahkan dunia.
Ali Sadikin misalnya, dia menyulap Jakarta dalam sekejap hanya berdasarkan visi dan misinya sendiri, yaitu mengubah Jakarta dari kota kumuh menjadi kota yang hebat, yang didukung oleh kekuasaannya sebagai gubernur DKI . Ciputra pengusaha property hebat, pd tahun 70-an berkolaborasi dengan kekuasaan mengubah Ancol yang waktu itu dijuluki tempat Jin buang anak oleh semua orang, kini menjadi taman rekreasi terbesar dan lengkap yang dikunjungi banyak orang domestic dan mancanegara.

Namun, tidak semua visi dan misi plus kekuasaan pasti bisa mengubah dunia secara positif. Mabes Polri telah mereformasi menuju Polri professional sejak 1999, tetapi tetap saja kerja model paradigma lama masih terjadi. Pabrik kapal terbang Nurtanio dan jembatan pulau Batam yang konon visi dan misi Pak habibie dinilai bangkrut dan gagal. Namun mimpi Habibie seperti Tol Cipularang dan jembatan Suramadu menjadi kenyataan dan berdampak hebat bagi banyak masyarakat.
Banyak referensi yang menggambarkan banyak perdebatan, ambil contoh baru-baru ini debat masalah kepastian hukum penahanan Komjen Polisi Susno Duadji, dan mantan menkumham dan mensesneg Yusril Ihza Mahendra terkait legalitas hukum ketua Kejaksaan Agung Hendarman Supandi. Ketika kita bertanya apa visi dan misi dibalik polemik yang membuat media massa tertarik meliput mereka..?, adakah manfaatnya untuk masyarakat bangsa ini ?. Dan disisi lain kenapa banyak kepala daerah tersangkut kasus korupsi..?
Terlepas dari baik buruk atau kalah menang, kalau ada orang yang mau mengubah apa saja harus punya visi, misi dan kekuasaan. Masalahnya, banyak orang termasuk kepala daerah mengaku punya visi – misi, tetapi tak lebih dari untuk menyenangkan diri sendiri dan kelompok sendiri. Visi dan misi mereka adalah memenangi pemilu, jadi anggota legislative atau jadi kepala daerah. Kalau dia terpilih menjadi kepala daerah, maka pikirannya hanya bagaimana caranya menggaet dana masyarakat sebanyak yang dia mampu gaet, untuk penggantian dana kampanye yang sudah dikeluarkannya plus sedikit profit.
Sementara ditempat lain, tanpa banyak cincao sedikit kepala daerah dan pengusaha swasta justeru membuat gebrakan yang fantastis sendirian. Dimakasar sudah berdiri tempat rekreasi yang mampu menandingi Dunia Fantasi Jakarta. Sulawesi Utara dia-diam bergerak menjadi pusat perekonomian kelautan, sedangkan Kota Solo sudah berubah dari Kota kumuh penuh PKL ( Pedagang Kaki Lima ) yang tidak terkendali menjadi Kota yang asri, pusat wisata kuliner dan belanja.
Semua itu berjalan otomatis , dimotori orang-orang yang punya visi dan misi yang baik serta kekuasaan yang memungkinkannya untuk melaksanakan visi dan misinya. Persis seperti ketika Bung Karno diluar dugaan siapapun, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Jadi,jangan heran kalau daerah masih banyak yang belum berubah. ****

Independensi KPUD Kab, Bima

Independensi KPUD Kab Bima
Orang boleh saja tidak percaya pada kredebilitas Ferry Zulkarnain Bupati kabupaten Bima yang baru kembali terpilih. Namun hal itu tidak boleh terjadi pada Komisi Pemilihan Umum Daerah ( KPUD ) Kab Bima. Sekali KPUD membuat kesalahan fatal dan mengakibatkan masyarakat tidak percaya pada hasil kerjanya, maka produk berupa pemerintah terpilih juga akan dipertanyakan masyarakat. Jika terjadi demikian, hal itu akan merobohkan bahkan menginjak – injak demokrasi dan wibawa pemerintah.
Apakah skeptisisme masyarakat terhadap KPUD Kab Bima baru sebatas kekhawatiran atau memang sudah terjadi ?. Jawabannya perlu dilihat dari berbagai kasus pemilukada yang banyak terjadi. Dengan mencuatnya konflik dan kasus kecurangan pilkada yang masuk di Mahkamah Konstitusi ( MK ), kita telah mendapat gambaran sejauhmana kredibel kerja KPUD.
Ferry Zulkarnain yang kembali maju sebagai incumbent dalam pemilukada Kab Bima lalu, dinilai melakukan kecurangan dan berkongkalingkong dengan KPUD. Masyarakat menilai KPUD dan Ferry Zulkarnain sama – sama mengambil sikap pragmatis untuk memenuhi agenda pribadi dengan masing-masing melecehkan wibawa pemerintah dan KPU.
Pemilukada yang kita saksikan, tidak beda dengan dunia bisnis yang namanya ‘ insider tranding dianggap sebagai penipuan publik. Kalau KPUD sebagai pelaksana pemilu ikut bermain , maka nurani rakyat dilukai tercabik-cabik. Dan pada urutannya pemerintah yang dihasilkan akan terkena getahnya karena proses pilkada cacat sehingga hasilnya pun dinilai cacat. ( Pemerintahan pun bisa tidak legitimatif ).
Demikianlah, kasus Ferry Zulkarnain yang sempat di ajukan ke MK karena dianggap melakukan kecurangan dan Izajah palsu tidak merubahnya sebagai pemenang dalam pilkada, namun tetap saja hal ini menjadi pembelajaran penting untuk perbaikan KPUD kedepan.
Lebih luas, perlu perbaikan undang-undang ( UU ) atau peraturan pemerintah ( PP ) yang lebih tegas dan visioner sehingga siapapun yang berminat menjadi anggota KPUD haruslah mereka yang memiliki posisi independensi, tidak seenaknya berpihak pada calon pilkada tertentu. Kalaupun ada yang melanggar mesti diberi sanksi yang amat berat dan eksplisit demi menjaga kredebilitas KPUD dan hasil kerjanya.
Yang tidak kalah penting disini, kita bisa renungkan biaya proses seleksi pemilihan anggota KPUD sangat mahal. Begitupun dengan biaya pemilukada, tetapi hasilnya sangat mengecewakan, belum lagi jika terjadi dua putaran atau terjadi pemilihan ulang. Berapa besar dana APBD yang harus dihabiskan,padahal dana itu akan lebih efesien jika dialokasikan untuk kebutuhan lain masyarakat langsung.
Catatan-catan kecil ini, semoga saja menjadi bahan kajian KPUD untuk diperbaiki di masa depan. Jangan sampai suatu waktu rakyat kehilangan kesabaran karena akibat kesalahan teknis-administrasi dan perilaku beberapa pribadi berbuat curang dalam pilkada membuat rakyat semakin berutal untuk terus mengamuk. Karena pada posisi seperti ini akan selalu menjadi seakan-akan kita membiarkan antara polisi dan rakyat bertempur.****

Mengukur Diri

Mengukur Diri
Dua puluh tiga tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada dosen disebuah perguruan tinggi tempat saya kuliah di Jakarta. Masalahnya, penulisan berita sebagai pekerjaan rumah yang saya buat seadanya itu dinilai bagus oleh dosen . Padahal saya tidak menulis berita dengan berlandaskan 5W + 1H sebagaimana lajimnya penulisan berita. Apalagi saat itu saya mahasiswa baru dan bandel yang memang belum banyak mengerti soal penulisan berita yang baik.
Penulisan berita yang saya buat dalam kondisi lelah dan ngantuk karena begadang semalam suntuk dengan teman-teman kost, maka menurut saya penulisan berita itu buruk, tidak akurat untuk kategori sebuah berita peristiwa.
Ada apa ?. Apa tidak salah memberi nilai ?. Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan ? Kalau begini saja sudah diberi nilai gabus, saya khawatir saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, dosen balik bertanya singkat, “ Maaf kamu dari mana “, “dari Bima “, jawab saya. Dia pun manggut dan senyum.” Saya mengerti “, jawab dosen yang juga memiliki kumis seperti saya, namun tetap simpatik.
Budaya Menghukum.
Dalam pertemuan itu merupakan titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah yang mengubah cara saya membangun diri sendiri maupun orang lain. “ Sering kali saya bertemu dengan orang dari Bima yang menjadi guru pendidik dijakarta “, lanjutnya. “ Orang Bima memiliki karakter yang keras, begitupun dengan mereka guru sebagai pendidik sangat sulit memberi nilai. Filosofi saya bukan untuk menghukum, melainkan merangsang orang supaya maju “.
Dia pun kembali melanjutkan argumentasinya. “ Saya sudah 32 tahun mengajar, setiap orang berbeda. Namun untuk mahasiswa seperti kamu yang bandel dan yang berkarakter keras dari daerah Bima yang hampir tidak banyak tersentuh oleh kemampuan tulis menulis apalagi media masa seperti di Jakarta ini, saya menjamin, ini adalah penulisan yang sangat hebat “, ujarnya.
Dari rentetan obrol tadi, saya mendapat pelajaran yang amat berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya seorang pemimpin sebuah daerah membangun kemajuan masyarakatnya dengan baik. Sementara sebagian pemimpin daerah lain harus cungkir balik ditengah ancaman demo dan kritik yang siap menerkam untuk meraih sukses.
Mereka daerah yang sukses, bekerja dengan grafik – grafik yang sangat terbuka, setiap unit kekuasaan diberi kewenangan dan pujian yang membuat mereka bersemangat menyelesaikan pekerjaan yang ditanggungjawabkan. Setiap kekurangan didiskusikan dengan penuh keterbukaan. Sebaliknya, daerah yang belum sukses masih cungkir balik karena pimpinan, kepala unit kekuasaan dan para staf bertindak dan bekerja bukan saling menolong, melainkan saling menekan dan menerkam diantara mereka.
Tidak sedikit mereka di pemerintahan daerah yang punya keahlian mengidap penyakit frustasi bukan karena tidak mampu bekerja, tetapi karena ditekan dan tidak diberi ruang yang luas untuk mengembangkan keahliannya. Hasilnya pun bisa ditebak, kualitas kerjaannya pastilah tidak sehebat keahliannya. Biasanya, orang yang berkerja dibawah tekanan, pastilah tidak menghasilkan yang terbaik. Ada semacam sakit hati atau dendam.
Pertanyaannya, bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara tidak mematikaf inisiatif dan mengendurkan semangat ?. Dengan demikian marilah kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan benih ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman menakut-nakuti sehingga orang lain tidak leluasa mengembangkan keahliannya.
Karena itu, jika pemimpin suatu daerah ingin memajukan daerahnya, maka berikanlah kepercayaan pada ahlinya untuk membuat grafik-grafik yang terang-benderang untuk kemajuan banyak masyarakat, bukan dibatasi apalagi ditekan dengan motif kepenting sendiri yang berlabel masyarakat sehingga hasil akhirnya mengecewakan. ***

Selasa, 02 November 2010

Pemerintah Masih Lemah ( bagian 3 )

Pemerintah Masih Lemah ( bagian ke tiga )

3.Perekonomian

Akibat kerja pemerintah yang lamban dalam menyelesaikan berbagai masalah bisa merugikan daya saing perekonomian kita. Dalam perekonomian globalisasi sekarang, setiap Negara dituntut lebih kompetitif.
Kita tidak ingin pemerintah terus menunggu dan banyak berdebat sehingga masalah semakin menumpuk dan semakin membenani masyarakat. Karena itu pemerintah harus bergerak cepat dan merespon setiap masalah sebelum berdampak pada laju pertumbuhan perekonomian masional.
Apakah pemicu tersendatnya penyelesaian masalah karena Presiden ditengarai mulai lemah dalam mengendalikan tata kelola politik..?, yang jelas kerja pemerintah sekarang ini belum maksimal.
Arah pembatasan subsidi rancu
Kebijakan pembatasan subsidi energi khususnya BBM masih belum jelas. Dengan semakin beratnya beban subsidi di APBN ditambah realisasi lifting minyak yang masih dibawah target 1,1 juta barel perhari, Menteri ESDM belum juga menemukan program apa yang akan dilakukan.
Tindak lanjut pemerintah mewacanakan opsi membatasan subsidi BBM misalnya mobil produksi diatas thn 2005, pembatasan subsidi bagi sepeda motor, hingga kampanye penggunaan bahan bakar pertamax, hingga kini belum ada kebijakan yang disepakati. Namun pemerintah dengan caranya sendiri memasukan bahan tertentu dalam BBM premium bersubsidi. Akibatnya, sudah banyak kendaraan yang babak belur menjadi korban dari ketidak tegasan aturan penggunaan BBM bersubsidi.

Kemacetan lalu Lintas
Lalu lintas macet disejumlah kota besar., terutama jakrta hingga saat ini sudah ada di ambang kebuntuan. Kondisi yang tidak berimbang antara peningkatan volume kendaraan yang tidak diiringi dengan infrastruktur jalan memadai.
Tindak lanjut meluncurkan berbagai kebijakan oleh Pimprov untuk mengatasi kemacetan seperti proyek bus Transjakarta, pembatasan ( three in one ), hingga penerapan jam masuk sekolah pun tidak berhasil. Kondisi ini diakui pemerintah DKI mengalami kerugian mencapai ratusan milyar perbulan. Ini belum lagi kerugian akibat keterlambatan waktu kerja bagi dunia usaha lain.

Harga Bahan Pokok Merangkak Naik.
Saat ini teriakan masyarakat semakin kencang karena harga pokok kebutuhan dasar terus merangkak naik. Hampir seluruh komuditi mengalami kenaikan antara 10 % bahkan ada yang mencapai 100 %. Langkah Pemerintah melalui koordinasi dibawah Kementerian Perdagan melakukan operasi pasar, ternyata tidak mampu membawa perubahan. Pemerintah mengalami kesulitan karena para pedagang dan spekulan pasar menguasai masalah sehingga dengan mudah mengecoh tim petugas operasi pasar.

Bukan kita ingin membantingkan kepemimpinan Negara lain yang begitu cepat merespon dan berkoordinasi dengan bawahan secara baik, namun sikap tegas mereka lakukan dilihat dari hasil yang dicapai pantas untuk dicontohi dalam mendukung perekonomian Negara.
Barak Obama, Presiden Amerika kulit hitam pertama ini, berani dan tegas terhadap raksasa minyak inggris BP, untuk membayar ganti rugi USD 20 miliar, akibat tumbahan minyak dipengeboran minyak teluk Mexsiko.
Nicholas sarkozy, terkenal tegas dan konsisten terhadap kebijakan restriktif terhadap imigran illegal prancis pada tahun 2008 sekitar 20.000 imigran berhasil dideportasi. Imigran gelap menjadi masalah serius di Prancis karena dianggap meningkatkan pengangguran dan konflik social. Dan banyak lagi pemimpin Negara lain yang sukses dari ketegasan dan konsistensinya dalam upaya menumbuh kembangkan perekonomian negaranya.

Saat ini, perekonomian kita dihantui oleh munculnya sejumlah masalah lain yang belum terselesaikan , karena tidak adanya sikap tegas dan koordinasi yang baik dari semua pihak terkait. Jangan bicara atau bangga mengklaim Negara ini besar dan kaya jika pengelolaannya masih babak belur dan bolong disana-sini. Semestinya, baik politisi, DPR, Eksekutif bersifat seperti negarawan yang bekerja dengan kearifan mengedepankan kepentingan nasional dari pada kepentingan politik atau kelompok. Apalagi banyak berdebat dan berlarut-larut yang belum juga menyelesaiak masalah, sementara perekonomian kita semakin terancam oleh munculnya sejumlah masalah. ***

Pemerintah Masih Lemah ( bagian 2 )

Pemerintah Masih Lemah.

2. Polhukam ( sambungan ke dua )

Hingga saat ini sejumlah masalah politik, hukum dan keamanan masih banyak yang belum terselesaikan.

Kasus century
Ketika kasus ini bergulir dan menyeret nama Wapres Boediono dan mantan Menkeu Sri Mulyani. Pemerintah dinilai lalai dalam mengucurkan dana talangan ( bailout ) yang mencapai Rp. 6,7 T. Konon issu yang beredar dikalangan dekat BI,dana yang dikucurkan jauh lebih banyak.
Tindak lanjut yang telah dilakukan oleh DPR dengan mengajukan angket century menjadi burem dan hampir tenggelam setelah Menkeu Sri Mulyani mundur dari jabatannya. Persoalan sulitnya DPR menuntaskan mega skandal ini karena semua pihak yang terkait adalah jawara perbankan yang handal dan kompak dalam kesaksian yang sama. KPK sebagai lembaga hukum terakhir yang diharap mampu membongkar kasus Century secara hukum pun mulai berkelit seakan-akan mengundur waktu sambil mengatur strategi lain. ( baca juga pansus angket patut dicurigai,opini saya di tvOne ).

Sengketa dan konflik Pilkada
Pilkada 2010 setidaknya terjadi sengketa yang berujung kerusuhan ( konflik ) misalnya, Bima ( NTB ), Sibolga ( Sumut ), Mojokerto ( Jatim ) dan lain-lain.
Tindak lanjut, belum ada gagasan atau gebrakan baru dalam paket undang-undang pemerintah dan politik. Presiden pernah mengeritik pelaksanaan pilkada yang penuh kekerasan dan anehnya fenomena ini tidak terjadi dalam Pilpres.
Sejumlah sengketa dan kerrusuhan yang terjadi tidak mesti dianggap pembelajaran politik rakyat oleh sebagian pengamat, namun langkah konkrit menutup akar masalah pemicu kerusuhan harus dibuat sejelan mungkin dalan undang-undang.

Kisruh Lembaga Hukum
Kita awali saja kasus ini dari kata “ cicak Buaya “ polri dan KPK yang di picu mantan Kabareskrim Mabes Polri Komjen Susno Duadji yang berujuang ditahannya dua pimpinan KPK Bibir S Rianto dan Chandra M Hamzah dengan tuduhan menerima suap.
Tindak lanjut, kasus Bibit – Chandra bebas, namun menjadi permasalahan yang belum tuntas karena dua pimpinan KPK ini kembali menjadi tersangka atas gugatan praperadilan penolakan SKPP yang diajukan Anggodo Widjojo. Sampai kini nasib dua pimpinan KPK itu belum tuntas. Lebih lanjut muncul kasus hukum sisminbakum yang menjadi polemik hebat antara mantan Menkumham Yusril Izha Mahedra sebagai tersangka dengan Dani Indrayana terkait legalitas status ketua Kejaksaan Agung Hendarman Supandji. Kasus ini pun sampai saat ini masih menjadi pertebatan banyak pihak.
Kita juga masih mengikuti kisruh internal Satgas mafia hukum yang berbuntut mundurnya pak Herman karena beda pendapat dengan anggota lainnya mengenai laporan hasik kerja skandal century yang tidak dilaporkan ke Presiden.

Rekening gendut Perwira Polri
Laporan PPATK mengenai rekening sejumlah petinggi Polri masih misteruis.
Tindak lanjut oleh kapolri jenderal Pol Bambang Hendarso Danuri dinilai tidak tegas dan ragu memeriksa anah buahnya. Kapolri pun seakan-akan ingin menutup kasus ini demi pencitraan institusinya.

Rentetan kasus ini sesungguhnya menjadi pemelajaran semua pihak, pemerintah harus diakui belum mampu menjalankan fungsinya sesuai menajemen pemerintahan yang baik. Terbukti para menteri yang berasal dari partai politik tidak seirama dengan kebijakan pemerintah dalam menjalankan tugas. Pimpinan lembaga hukum masih lemah karena mudah diintervensi oleh kepentingan politik. Semestinya, menteri harus bekerja seperti seorang negarawan yang memikirkan kepentingan nasional.

Persoalan lain, Presiden terkesan ragu dan tidak tegas menegur anak buahnya yang dinilai kurang becus menjalankan program-program kerakyatan. Sehingga kita melihat banyak kasus menjadi berlarut-larut. Termasuk adanya 11 undang – undang yang tumpang tidih yang sama sekali belum ada wacana apapun untuk diperbaiki.***

Pemerintah Masih Lemah

Pemerintah masih Lemah
“ Perjalanan pemerintah di tahun 2010 masih tersendat” , Hal ini ditandai kerja pemerintah masih menyisakan sejumlah masalah . Sehingga persoalan-persoalan dibidang ekonomi, kesejahteraan rakyat, politik , hukum, dan keamanan belum juga terselesaikan. Disini yang menjadi hambatannya adalah “ koordinasi antar pemerintah bermasalah dan berlarut-larut dalam merumuskan kebijakan”.
Selama 2010, sederet masalah yang belum terselesaikan dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Kesra.
Program konvensi berbuntut ledakan. Program ini lemah dalam pengawasan sehingga terjadi ledakan Elpiji 3 kg dan tabung 3 kg oplosan. Menurut catatan Puskepi, selama 2010 terjadi 90 ledakan dan menyebabkan sedikitnya 8 orang tewas.
Tindak Lanjut.
Pemerintah telah membentuk tim pengawas gabungan dari Kementerian, kepolisian dan PT. Pertamina. Namun keputusan menarik tabung tidak layak dan pergantian selang tabung belum juga dilakukan. Sebelumnya pemerintah telah menyatakan akan menarik 9 juta tabung 3 kg tidak layak yang telah beredar dan diberikan pada masyarakat. Tapi akan sulit membedakan mana tabung ber-SNI atau tidak bila menarik hanya 9 juta tabung dari 45 juta tabung yang ada ditangan masyarakat. Belum lagi pemahaman penggunaan Elpiji oleh masyarakat masih kurang karena sosialisasi penggunaan belum diterapkan secara optimal.
Kita juga tidak memungkiri adanya pihak-pihak yang sengaja memanfaatkan kelemahan pengawasan pemerintah,atau bermain dengan oknum terkait …, sehingga melakukan berbagai tindakan seperti oplosan, untuk mencari keuntungan tanpa peduli dengan keselamatan jiwa orang lain.
Dalam merespon permasalahan ledakan Elpiji, Menkesra Agung Laksono dan Menperin MS Hidayat berbeda pendapat soal penarikan 9 juta tabung 3 kg yang tidak menggunakan Standar Nasional Indonesia ( SNI ).
Jika Menkesra menyatakan akan menarik 9 juta tabung 3 kg tak berlogo SNI, sementara Menperin dengan yakin menyatakan tidak ada instruksi penarikan karena sudah mengecek ke Sesmenko Kesra. ( SI 30 / 7 2010 ).
Disini saja kita bingung, siapa yang harus bertanggungjawab..?, Menkesra adalah coordinator, Menperin adalah penanggungjawab terhadap pengawasan produk pendukung program seperti tabung, kompor, selang dan regulator. Pertamina bersama menperin melakukan control kualitas pada saat pengadaan. Kementerian Perdagangan bertanggungjawan terhadap pengawasan barang beredar dipasaran, khususnya produk konvensi minyak tanah ke Elpiji ( tabung, kompor, selang dan regulator ). Badan Standarisasi Nasional bertanggung jawab dalam perumusan dan penetapan SNI untuk rubber seal. Sementara Pemerintah propinsi, Kabbupaten da Kota bertanggung jawab menyosialisasikan penggunaan Elpiji yang aman didaerah masing-masing.
Sederetan pihak pemerintah yang terlibat, toh ledakan Elpiji mulus terjadi dimana-mana. Penyelesaian yang semestinya dipercepat, malah terjadi beda sikap diantara pemerintah terkait. Lantas …, kepada siapa rakyat ini berharap….sebelum korban jiwa bertambah..? . Mungkinkah rakyat harus menunggu rumusan kebijakan yang tegas ditengah ledakan yang masih terjadi dan di antara rasa takut dari ancaman ledakan berikutnya..?.

( Tulisan ini akan dibuat bersambung dalam tiga bagian, kesra, Polhukam dan Perekonomian

Ulama dan Amoralitas Daerah

ULAMA DAN AMORALITAS DAERAH

SELAMA ini masih terjadi ketidak pastian program diwilayah birokrasi pemerintahan daerah. Sehingga issu amoralitas dan korupsi melalui penguasaan sisitim administrasi daerah masih sering terjadi. Aktornya pun para pejabat daerah. Mereka ini yang mendapat tugas dan memiliki legalitas mengatur administrasi serta keuangan daerah. Jadi, karena wilayah serta actor serta regulasinya dalam tubuh birokrasi pemerintah, maka peran ulama berada diluar. Ulama tidak memiliki legalitas untuk mencampuri administrasi pemerintah. Paling banter hanya bisa menyampaikan kritik, khotbah dan teguran moral. Mereka bukan eksekutor bidang hukum dan administrasi pemerintahan.

Dikatakan Ulama karena memiliki kelebihan khusus agama yang pasti dalam tindakan dan ucapannya memberi pesan-pesan moral. Namun ulama tetap juga manusia yang tidak ‘ imun dari salah dan dosa ‘. Pertanyaannya, kenapa didaerah, yang meriah dengan forum pengajian, korupsi dan perilaku amoralitas lain masih saja tumbuh subur ?. Padahal didaerah banyak ulama, ustaz, mimbar agama, bahkan ada kantor kementerian agama wilayah propinsi, kabupaten dan kota.

Sementara disisi lain diperkirakan mimbar agama ditelevisi Indonesia menduduki posisi teratas dalam hal jumlah jam siaran serta variasi acaranya, apalagi dibulan Ramadan. Semua program televise inipun tidak ada yang luput dari perhatian para ulama,pejabat pemerintah atau masyarakat. Melihat kondisi ini, muncul pertanyaan, mengapa korelasi antara mimbar agama dan perilaku amoralitas tampak kurang signifikan ?.

Fakta-fakta diatas, bukan serta merta kita mengecilkan ulama. Disini peran ulama tetap didukung. Suatu hal yang mustahal ( mustahil ) untuk memperbaiki moralitas, lantas kita berharap pada ulama atau intelektualitas, sementara yang paling berwenang dan strategis adalah aparat dan lembaga penegakan hukum. Ulama dan Intelektualitas lebih efektif jika menggerakan aksi demo. Inipun tidak memberi pengaruh karena diibaratkan ronda desa dimalam hari yang berkeliling kampung memukul kentong tapi tidak jelas arah targetnya.

Pesan moral agama dan intelektualitas tanpa didukung oleh hukum positif dan instrument pemerintah tidak akan mampu memberantas amoralitas. Begitupun lembaga keagamaan yang ada. Tugas mereka bukan menghukum amoralitas sosila dan korupsi yang banyak terjadi, tetapi menyampaikan pesan moral dan pendidikan agar memilih jalan hidup yang baik dan benar. Mereka tidak dibenarkan memberi hukuman seperti lembaga hukum formal polisi, jaksa dan komusioner terkait.

Saat ini kita bicarakan perilaku amoralitas daerah. Didaerah sering terjadi kerancauan berpikir, ketika terjadi issu amoralitas oleh pejabat, aparat atau masyarakat, yang menjadi sasaran tembak kekecewaan adalah tokoh-tokoh agama. Agama dan tokoh agamanya diharapkan jadi agen “ cuci piring “ setelah amoralitas dan asosila telah berpesta. Bisa dimaklumi, kenapa orang berharap semuanya pada agama, kerana berbagai khotbah mimbar agama selalu menekankan bahwa agama itu mengatur segala-galanya. Agama ditempatkan mesti bisa mengatur dan menyelesaikan persoalan hidup. Jika hal ini benar, kenapa di banyak daerah dan Negara sekuler tingkat amoralitas, asosila dan korupsi pejabat sangat rendah. Menjadi terbalik dinegara kita yang banyak dipenuhi organisasi agama, majelis taklim bahkan partai politik berciri keagamaan. Disini ada kesalahan persepsi, harapan, peran dan penempatan relasional antara agama, pemerintah ( Negara ) dan masyarakat.

Tidak perlu kita bicara Negara terlalu luas, Desentralisasi yang memberi kemandirian daerah melalui otonomi mungkin lebih mudah mengontrol amoralitas dan korupsi daerah. Persoalan terkikisnya nilai-nilai moralitas yang begitu cepat bergerak didaerah tidak selalu akibat globalisasi yang merubah pola pikir dan pola hidup. Namun hilangnya figure-figur keagaman yang berkualitas sebagai panutan bisa menjadi penyebab.

Rasanya memang ada yang salah dalam pendidikan agama dan dalam membangun relasi antara agama dan pemerintahan. Kini mengembalikan nilai moralitas dalam menghadapi tantangan globalisasi menjadi kebutuhan mendesak setiap daerah. Suatu solusi yang bisa diambil pemerintah, memunculkan kembali figure-figur keagamaan yang berkualitas melalui program pendidikan yang lebih baik. Pemerintah bisa melakukannya dengan kebijakan investasi, Kita berharap pada waktunya intelektualitas keagamaan yang baik ini akan gigih memberi pesan-pesan moral berimbang dengan situasi yang ada. Sehingga memfilter pola hidup dan pola pikir amoralitas terlihat ada korelasinya antara agama dan pemerintah*****

Ancaman Demokrasi Kita

ANCAMAN DEMOKRASI KITA

Beberapa hari terakhir, pikiran kita masih dibayangi oleh ketidak-pastian seperti apa bangsa ini kedepan. Pemberitaan media sebagai sumber informasi tidak pernah habis mempertontonkan fakta-fakta berbagai masalah serius yang dihadapi bangsa kita bukan lagi suatu yang sulit karena hak kebebasan berpendapat sudah dijamin oleh demokratisasi. Negeri ini pun mendapat pujian internasional karena proses demokrasi begitu maju oleh mayoritas islamnya yang begitu besar.

Negara kitapun semakin mantap dijuluki terdemokrasi lantaran salah satu pilar utama demokrasi adalah adanya multipartai politik. Indonesia yang memiliki masyarakat yang sangat majemuk, sangat logis kalau jumlah parpolnya begitu banyak. Ruang inipun menjadi tempat yang efektif bagi mereka untuk memperjuangkan cita-cita politiknya.

Dalam perjalanan demokrasi besar inipun, ternyata menyimpan ancaman serius bagi bangsa kita. Catatan dan kritik yang sering dimunculkan adalah mereka lebih menikmati kebebasannya, tapi menyelewengkan kualitas dan substansi demokrasi. Kita bisa melihat dari proses penyaringan wakil rakyat yang benar-benar berkualitas, baik sebagai legislative maupun ekskutif bisa dibilang belum ada yang mampu untuk mamajukan bangsa dan memakmurkan rakyat.

Beberapa pengamat menilai, proses dan hasil pilkada maupun pemilu yang berlangsung selama ini tidak menghasilkan pemerintahan yang dijanjikan dan yang diharapkan rakyat. ( baca juga tulisan di blog saya “ pilkada dan harapan” ). Partai politik menjadi sumber petaka karena terus melakukan kesalahan besar dalam penyaringan anggota legislative maupun eksekutif.

Setelah kita melihat morat – marutnya sistim pemerintahan dan munculnya berbagai gangguan stabilitas yang ada, kitapun bisa melihat akan munculnya ancaman terhadap demokrasi di Negara kita. Pertama, datang dari kelompok ekstremis-radikalis Islam yang menganggap pemerintahan produk demokrasi itu thaghut atau berhala, tidak berdasarkan ajaran Alquran. Alquran dan Rasulullah tidak mengajarkan pemilu. Sistim yang ada ini meniru Barat, mereka itu kafir, sehingga pemerintah produk demokrasi harus dimusuhi karena produk pemikiran kafir, bukan berdasarkan ajaran Islam yang murni.

Kedua, kultur dan sikap feodalisme yang semakin kuat dikalangan politisi dan pejabat pemerintahan. Ajaran demokrasi yang menekankan sikap egaliter dan kompetisi berdasarkan kualitas individu dimusnahkan oleh kultur perkoncoan dan kekelurgaan. Banyak pengangkatan jabatan strategis diberbagai Departemen bahkan di BUMN, berdasarkan perkoncoan dan kekeluargaan. Ini jelas meruntuhkan nilai dan prosedur demokratisasi yang kita dengung-dengungkan. ( kemarin tetangga saya mengeluh krn didepertemen tempatnya bekerja, praktek ini kental terjadi ).

Ketiga, Peran partai politik yang tidak mampu untuk melahirkan dan menyuplai kader atau figure-figur potensial yang terbaik untuk menyukseskan agenda demokratisasi serta pemerintahan yang good governance dan good government relations. Partai politik masih terlalu arogansi, ( kompas……, pengamat politik LIPI, Syamsudin Haris mengatakan ,“ politisi selalu bersikap sesat “.). Permasalahan ini, semestinya harus mendapat perhatian serius oleh tokoh-tokoh penting jajaran parpol. Tidak ada lagi yang patut kita tuntut dalam kebebasan demokrasi sekarang ini. Kadang ada komentar, Indonesia masuk dalam kelompok ultra-demokrasi. Namun, faktanya lain. Ruang kebebasan yang tersedia tidak pernah didukung oleh kinerja yang baik dan benar dari tokoh-tokoh parpol baik tingkat pusat maupun didaerah.

Tentu situasi dan kultur politik seperti ini tidak boleh berkepanjangan, masyarakat sudah terlampau capek dengan janji-janji demokrasi, dan sekarang suara itu sudah mulai bermunculan mengumpal diawan siap untuk meledak. Reformasi dan demokrasi hanya akan menjadi ungkapan peyoratif. Otonomisasi daerah mengalami distorsi dan penyimpangan dari yang dibayangkan semula.

Kondisi buruk ini harus cepat dihentikan, tokoh-toko garda umat islam terbesar didunia sebagai pendukung demokrasi harus berani bertindak dan mengkritisi penyimpangan yang mengancam demokratisasi yang berjalan. Parpol pun harus berhenti menjadi agen penjual tiket masuk legislative tampa seleksi. *****

Apa Kabar Desaku

APA KABAR DESAKU ?

Ditandai oleh fenomena arus mudik ( dan balik ) mereka yang bekerja di kota – kota besar kedaerah asal pd lebaran tahun ini. Arus mudik dari Jakarta dan kota-kota besar lain Indonesia ke seluruh pelosok tanah air untuk lebaran dikampung halaman bersama sanak saudara tercatat mencapai 15,5 juta orang. Hal ini terjadi setiap tahun pada H – sebelum dan H + setelah lebaran dan telah berjalan puluhan tahun . Tingginya jumlah pemudik ini membuat pikiran saya menerawang pada pertanyaan. Ada apa dengan desaku .. ?. Penerawangan sayapun menggambarkan ada masalah yang mendasar yaitu ketimpangan pembangunan kota dan desa.

Sumber daya manusia didesa banyak yang mencari pekerjaan “ layak “ dan melakukan aktivitas ekonomi dikota besar ( urbanisasi ). Kondisi yang memperlihatkan bahwa pembangunan ekonomi pedesaan tidak tersentuh secara baik dan ini juga berarti otonomi tidak mampu mendinamisasi pembangunan ekonomi berbasis pemberdayaan social ekonomi pedesaan.

Ketimpangan yang nyata

Kita tinggalkan saja sentralisme kekuasaan selama kurang lebih 32 tahun karena sudah tergantikan oleh otonomi daerah. Namun, fakta sentralisme masih mencekram begitu kuat dalam proses pembangunan nasional, yaitu ketimpangan wilayah yang terpusatnya populasi di kota. Kata Kanbur dan Venables, gejala-gejala dari penyakit ketimpangan wilayah mencakup rendahnya kualitas pendidikan pedesaan, infrastruktur yg jelek, aktivitas perbankan rendah, kebijakan pembanguan berbasis eksploitasi sumber daya alam semata serta tidak tersedianya lapangan kerja berbasis karakter social ekonomi daerah yang mencukupi.

Dalam kacamata ekonomi, gejala-gejala ketimpangan ini berdampak pada rendahnya angka pendapatan. Berbalik tajam dengan kota-kota besar aktivitas pembangunan mengalami percepatan dengan laju yang luar biasa. Ilmuan social menyepakati bahwa ketimpangan wilayah bersumber pada rendahnya kualitas kepemimpinan daerah dalam mendorong pembangunan. Saya bilang, “otonomi daeah telah melahirkan raja-raja kecil yg gigih membangun kekuasaan dinasti lokal yang mengabaikan substansi kekuasaan demokrasi”. ( baca 2 artikel saya ‘ birokrasi tidak jujur dan politik anggaran daerah’ Lombok Pos ).

Korupsi yang mencapai 60,6 % melibatkan kepala daerah propinsi, kabupaten dan kota pada umumnya disebabkan kebijakan pembangunan bersifat pragmatis seperti pertambangan asal jadi dengan alasan memicu pendapatan daerah secara instan tanpa diimbangi oleh aktivitas produktif lain berbasis kreativitas ekonomi daerah. Pembangunan pertanian yang menjadi karakter dan aktivitas umum ekonomi pedesaan masih lumpuh dari kebijakan-kebijakan daerah yang kreatif. Fenomena ini dipandang sinis oleh public bahwa aktivitas pertanian dianggap bukan ‘ ladang basah ‘ bagi pemimpin daerah dan birokrasi local untuk dikorupsi, sehingga selalu ‘ terpinggirkan’.

Urbanisasi memberi gambaran disparitas pembangunan desa dan kota. Sepertinya pihak-pihak yang berkepentingan belum memiliki langkah konkret meminimalisasi permasalahan tersebut. Sementara urbanisasi terus melangkah dengan motif ekonomi. Kondisi ini hanya bisa diatasi dengan pemantapan good governance melalui reformasi birokrasi dan meningkatkan partisipasi public dalam proses politik pembangunan.

Otonomi semestinya lebih strategis mengatasi ketimpangan ini. Langkah penguatan pembangunan pertanian dan peternakan berbasis di pedesaan sudah harus dilakukan untuk penyeimbangan. Saat ini kebijakan pembangunan pertanian daerah belum ada yang serius, kecenderungannya daerah memilih eksploitasi sumber daya alam dari pada memperkuat sector produktif pertanian dan lainnya.

Desa tetap terpinggirkan, kota dan desa sering digambarkan kedalam dua aktivitas ekonomi berbeda. Kota memiliki aktivitas industry dan jasa, sedangkan desa memiliki aktivitas ekonomi pertanian dan tradisionalisme social. Tidak ada substansi yang perlu dirubah dari ciri aktivitas ini, namun dibutuhkan penanganan optimal supaya tidak terjadi ketimpangan pembanguanan. Sehingga fenomena mudik yang terjadi tidak lagi meledak seperti sekarang ini dan kita-pun tidak lagi bertanya “ apa kabar desaku “.***

Politik Sesat

POLITIK SESAT



Judul ini sedikit mengkagetkan, karena kata sesat oleh banyak orang cenderung mengkaitkannya dengan aliran kepercayaan. Kata 'politik sesat' terinspirasi oleh Bang Syamsuddin Haris ( pengamat politik LIPI ) yang dalam statamentnya mengkritisi perilaku politik, kata -kata sesat ini sering dilontarkan beliau.

Akhir-akhir inipun, apa yang sering dikatakan Bang Haris bahwa 'perilaku politisi telah sesat' memang semakin nyata. Lebih-lebih kesesatan perilaku itupun terjadi ditingkat elit politik dan kekuasaan. Coba saja kita simak, kemarin dikomisi III DPR RI dalam rapat uji kelayakan dan kepatutan Kapolri baru. Disana terjadi sinetron pura-pura galak, namun semuanya telah diatur untuk menyetujuai Timur Pradopo sebagai kapolri baru. KPK masih diobok-obok, kerja Kejaksaan Agung dan kehakiman masih menuai kritik tajam. Apa yang kita lihat terjadi kebohongan publik, merekayasa situasi yang melanggar hukum, demokrasi dan etika.

Dalam kehidupan berdemokrasi, sebuah negara harus bersandar pada pilar utama yaitu kebebasan, hukum dan etika jika sebuah negara ingin tertib dan beradab. Tanpa ada jaminan kebebasan berserikat dan berekspresi, demokrasi akan sia-sia tidak ada maknanya. Tanpa ada kebebasan, sesorang atau kelompok orang tidak akan bisa tulus beraktivitas karena paksaan. Dalam hal kebebasan ini, kondisi sosial politik kita sudah memperlihatkan kemajuan besar. Orang bebas mendirikan partai politik, kemudian nanti masyarakat yang akan menentukan hidup-matinya.

Ketegasan hukum. Seseorang, masyarakat atau kelompok tertentu, jika hanya bisa menikmati kebebasan dan tidak disertai penegakan hukum yang jelas dan tegas, maka kebebasan lama-lama akan menghancurkan diri sendiri. Masyarakat dan kelompok akan terjebak dalam suasana kompetisi tanpa kendali yang berujung pada konflik dan pertikaian. Karena itu, sebuah negara yang sehat beradab, kebebasan mesti dikawal dan dijaga oleh penegakan hukum.

Di Indonesia tercinta ini, aspek penegakan hukum sangat menyedihkan sehingga pilar kebebasan menjadi destruktif, menghancurkan diri dan mengerogoti demokrasi. Kecuali penegakan hukum yang tegas dan berwibawa segere diwujudkan. KPK yang terlahir dirancang mengawal demokrasi dan reformasi agar hukum tegak, korupsi bisa dikurangi secara drastis, justeru terhambat dan diobok-obok oleh Presiden, Kepolisian, Kejaksaan dan pengadilan yang semestinya sebagai teman utama yg menjaganya.

" Etika berpolitik kita ternyata sesat". Jika mengacu pada Pancasila adalah dasar dan idiologi negara, maka perjalanan bangsa ini sudah sampai pada tahapan etika. Di atas kebebasan dan penegakan hukum ada etika berpolitik dan demokrasi yang jauh lebih tinggi derajatnya. Merupakan refleksi dan manivestasi sila ketuhanan dan kemanusian dalam Pancasila. Kalau kebebasan dan hukum untuk memperkokoh semangat kebangsaan dan kerakyatan, etika merupakan pesan ketuhanan dan kemanusiaan. Pada tahap ini orang berdemokrasi dan berpolitik tidak saja berpegang pada kaidah hukum, tetapi juga lebih kesadaran dan kepantasan moral.

Sungguh menyedihkan jika kita melihat situasi perkembangan politk saat ini. Semua orang ingin bebas, bebas mendirikan partai, bebas berekspresi. Bahkan ada kelompok yang ingin bebas menggunakan kekuasaan yang tengah dimilikinya untuk kepentingan diri dan kelompoknya. Disana juga ada yang ingin bebas korupsi lalu bebas dari jeratan hukum. Dari rentetan politik sesat inipun, kelompok ekstrim-radikal dan teroris juga ikut ingin bebas menyerang negara dan menghujat Pancasila.

Kami rakyat semakin letih. Bencana alam datang silih berganti, kecelakaan tranportasi saling menyusul. Lantas bertanya, dimana negaraku ?, apa yang dilakukan pemerintah untuk melindungi rakyatnya ?, lagi sibuk apa porpol yang ada ?. Padahal semua yang ada itu dibentuk untuk memajukan demokrasi, melindungi rakyat demi memajukan bangsa..,****

Tahun Penuh Gejolak

Tahun Penuh Gejolak.

Menjelang satu tahun usia pemerintahan SBY-Boediono, berbagai maneuver politikpun muncul saling menyusul yang menunjukan situasi politik semakin memanas. Sejumlah persoalan penting bangsa seperti, penegakan hukum, keamanan, ekonomi, politik dan kesejahteraan rakyat menjadi issu utama. Lembaga-lembaga survei menyimpulkan apresiasi public merosot tajam. Kondisi ini lebih buruk dibandingkan dengan penilaian masyarakat pada kurun waktu yang sama atas KIB I.

Katakanlah penilaian masyarakat belum tentu semuannya benar, namun penerapan bidang politik, hukum dan keamanan dalam satu tahun terakhir yang penuh gejolak, tampaknya penilaian masyarakat itu bisa masuk akal. Beberapa penerapan dari issu utama diatas secara konkret dapat kita lihat dari penegakan hukum yang pilih kasih.

Kasus hukum yang melibatkan seorang mafia hukum kelas kakap seperti Sjahril Djohan divonis 18 bulan potong masa tahanan, menjadi sangat tidak berimbang dengan hukum yang diterima pencopet atau penipuan kelas teri yang bernilai juataan rupiah. Betapa njomplang hukuman yang diberikan kepada para koruptor dan terhadap mereka yang ingin mempertahankan hidup akibat pengangguran dan kemiskinan.

Tampaknya korupsi bukan lagi sebagai kejahatan luar biasa yang mengancam dan menghancurkan Negara atau bermotif politik, melainkan kejahatan biasa yang hukumannya tidak berbeda dengan nenek yang memungut tiga buah cokelat yang jatuh dari pohon perkebunan milik pengusaha. Sementara mereka pencopet harus menerima hukuman yang amat berat dan disiksa tanpa motif politik apaupun.

Tindakan penyiksaan dan ketimpangan hukuman menyebabkan adanya simpati masyarakat, sehingga tidak sedikit terjadi keributan di kantor pengadilan dan penyerangan terhadap kantor polisi. Tindakan kekerasan dan ketimpangan hukum dinilai tidak adil dan semena-mena. Ironis, dikala kita sedang semangat membangun kebersamaan diantara anak bangsa, ternyata ada tindakan semena-mena terhadap sesama anak bangsa.

Termasuk bagaiman polisi menangani demo brutal mahasiswa dan kembalinya teroris. Kita tidak setuju dengan aksi-aksi brutal, namun pendekatannya bukan penjegahan yang dilakukan melainkan seolah Negara memelihara gejolak. Entah ini kebetulan atau rancangan scenario besar penanganan gejolak, faktanya aksi itu selalu muncul disaat issu politik lain sedang terjadi dinegeri ini.

Akhir-akhir ini kita pun dihadapkan persoalan politik. Tampaknya politisi dan petinggi Negara tidak lagi peduli dengan kondisi lapangan melainakan sibuk soal reshuffle kabinet karena hal ini terkait langsung dengan kepentingan dirinya, kelompok atau partainya. Disini sangat berbahaya jika SBY melakukan reshuffle Kabinet bukan atas dasar merit systim , melainkan atas penjatahan kursi kabinet bagi partai-partai politik pendukung. Jika ini betul terjadi, maka pendekatan politik lebih dipilih Presiden dalam penggantian kabinet. Hal inipun tidak mustahil akan menjadi moment munculnya gejolak-gejolak lain.

Sadar atau tidak sadar, para petinggi Negara memang lebih sibuk bagi-bagi kekuasaan diantara mereka sendiri , bukan ingin berkarya dan berbakti bagi bangsa seperti sumpah yang telah mereka ucapkan. Pancasila, UUD 45, dan Nasionalisme sebagai perwujudan kedaulatan rakyat yang dibangun begitu kokoh oleh pendiri bangsa, ternyata luluh lanta oleh perilaku politik dan petinggi Negara. ****

Negeri Penuh Bencana

NEGERI PENUH BENCANA



Kebanggaan kita yang telah bertahun-tahun berada dalam lintasan garis katulistiwa yang memberi banyak keunggulan misalnya, sistim iklim, keindahan laut dan darat, kesuburan tanah dllnya tidak lagi menggembirakan. Sekarang mau-tidak mau..., kita harus mengakuinya bahwa keunggulan tadi telah berbalik menjadi petaka yang selalu membawa korban jiwa dan harta benda. Ancaman kekuatan alam nan indah dan subur inipun tidak mudah untuk dilawan...., kecuali meminimalisasi dampak buruknya bagi semua hal yang terkait kehidupan. Bencana Alam yang terjadi di negeri ini bisa dibilang ada diambang rutinitas. Lihat saja musim tidak lagi menentu, tanah-tanah sering lonsonr dimana-mana, banjir juga sudah meluas keperkampungan hunian rakyat semua wilayah indonesia. Kalkulasi rehabilitasi dan renovasi kerusakan akibat bencana alam terlampau tinggi dari nilai ekspansi yang pernah dilakukan. Akibatnya, anggaran yang ada bukan lagi mengarah pada perubahan dan kemajuan melainkan terkuras oleh rehabilitasi bencana ( belum lagi terjadi kebocoran oleh pihak2 yang tdk bermoralitas memanfaatkan situasi untuk korupsi ).



Hitungan anggaran rehabilitasi tidak sebanding jika diblanjakan untuk pengadaan teknologi antisipasi dan pengawasan dini akan munculnya bencana alam. Dinegara maju seperti Jepang dan Belanda jauh-jauh hari telah membangun insfrastruktur tahan gempa. Artinya sudah ada teknologi ini yang bisa diterapkan di wilayah Indonesia. Dan disisi lainya, para pejabat pemerintah jangan lagi berpikir hanya mau membangun insfrakstruktur dalam kerangka bisa dimanipulasi dan dikorupsi. Fakta-fakta ancaman keselamatan hidup rakyat dari sejumlah bencana cukup banyak untuk dijadikan rujukan kemanusian. Para pejabat pemerintah baik pusat atau daerah semestinya juga tidak ikut menambah bencana dgn perilaku amoralitas sehingga memperpanjang bencana bangsa dan rakyatnya.



Dalam ancaman bencana alam ini, yang paling besar membawa korban jiwa dan harta benda adalah gempa bumi dan stunami. dibawah ini catatan gempa dan stunami yang terjadi di negeri kita:



Catatan stunami di indonesia.



1. 27 Agustus 1883. Letusan Krakatau memicu stunami setinggi 35 meter yang menghantam sejumlah pantai di sepanjang pulau jawa dan Sumatera. Bencana ini menewaskan 36.000 orang.

2. 30 September 1899. Gempa berkekuatan 7,8 SR di laut Banda Ambon memicu stunami setinggi 60 meter. Stunami ini menyapu wilayah pesisir dan menelan korban 3.600 orang.

3. 1 desember 1927. Gempa stunami setinggi 15 meter menghantam Donggala Suteng . Bencana ini mengakibatkan belasan orang tewas dan puluhan terluka.

4. 20 Mei 1938. gempa dgn kekuatan 7,6 SR kembali menghantan wilayah Sulteng. Stunami ini menewaskan puluhan orang dan menghancurkan ribuan rumah.

5. 24 Januari 1965. Stunami setinggi 4 meter menerjang kepulauan Seram Maluku dan menewaskan 70 orang.

6. 11 April 1967. Gempa 6 SR dan mengakibatkan stunami di Tonggolobibi Sulawesi tengah, sembilan orang tewas.

7. 14 Agustus 1968. Stunami setinggi 10 meter dipicu gempa berkekuatan 6,5 SR di Tambu kab. Donggala Sylawesi tengah menewaskan 200 orang.

8. 19 Agustus 1977. Gelombang stunami setinggi 15 meter menerjang pesisir sumba NTT dan menewaskan 316 orang.

9. 25 Desember 1982. Stunami terjadi di Larantuka NTT, menewaskan 13 orang.

10. 12 Desember 1992. Stunami setinggi 26 meter menerjang Flores, mengakibatkan 2.100 orang tewas.

11. 2 Juni 1994. Stunami setinggi 14 meter menghantam Banyuwasi dan menelan korban tewas 208 orang.

12. 1 januari 1996. Gempa 5,3 SR di Tinabung Sulbar mengakibatkan stunami yang menewaskan 58 orang dan 13 orang lainnya hilang.

13. 17 Febuari 1996 terjadi gempa 8,1 SR dan mengakibatkan stunami di Biak Papua menelan korban jiwa 160 orang dan hilang 51 orang.

14. 26 Desember 2004 menjadi hari bersejarah kematian masal bagi dunia. Gempa tektonik 8,5 SR berpusat di samudera india memicu stunami yang menyapu wilayah lepas pantai di Aceh dan Sumut. Korban tewas mencapai 173.981 jiwa.

15. 17 Juli 2006. Gembali 6,8 SR dgn kedalaman 33 km mengakibatkan stunami di pengandaran Jabar. Konban jiwa lebih dari 500 orang.

16. 25 Oktober 2010. Gempa 7,2 SR kembali menghantam Kepulauan Mentawai dan mengakibatkan stunami yg menewaskan 31 jiwa dan ratusan orang hilang.



Bencana gempa dan stunami di pastikan akan terus terjadi, dan kitapun harus tetap waspada..., disisi lain pemerintah semestinya sudah memiliki perangkat yang jauh lebih canggih dalam segala hal yang terkait penyelamatan lingkungan dan rakyatnya dari standar yg sudah ada. Sebab, ancaman stumani akan terus berdatangan karena wilayah kita sudah masuk kategori " RAWAN BENCANA ".