Selasa, 02 November 2010

Ulama dan Amoralitas Daerah

ULAMA DAN AMORALITAS DAERAH

SELAMA ini masih terjadi ketidak pastian program diwilayah birokrasi pemerintahan daerah. Sehingga issu amoralitas dan korupsi melalui penguasaan sisitim administrasi daerah masih sering terjadi. Aktornya pun para pejabat daerah. Mereka ini yang mendapat tugas dan memiliki legalitas mengatur administrasi serta keuangan daerah. Jadi, karena wilayah serta actor serta regulasinya dalam tubuh birokrasi pemerintah, maka peran ulama berada diluar. Ulama tidak memiliki legalitas untuk mencampuri administrasi pemerintah. Paling banter hanya bisa menyampaikan kritik, khotbah dan teguran moral. Mereka bukan eksekutor bidang hukum dan administrasi pemerintahan.

Dikatakan Ulama karena memiliki kelebihan khusus agama yang pasti dalam tindakan dan ucapannya memberi pesan-pesan moral. Namun ulama tetap juga manusia yang tidak ‘ imun dari salah dan dosa ‘. Pertanyaannya, kenapa didaerah, yang meriah dengan forum pengajian, korupsi dan perilaku amoralitas lain masih saja tumbuh subur ?. Padahal didaerah banyak ulama, ustaz, mimbar agama, bahkan ada kantor kementerian agama wilayah propinsi, kabupaten dan kota.

Sementara disisi lain diperkirakan mimbar agama ditelevisi Indonesia menduduki posisi teratas dalam hal jumlah jam siaran serta variasi acaranya, apalagi dibulan Ramadan. Semua program televise inipun tidak ada yang luput dari perhatian para ulama,pejabat pemerintah atau masyarakat. Melihat kondisi ini, muncul pertanyaan, mengapa korelasi antara mimbar agama dan perilaku amoralitas tampak kurang signifikan ?.

Fakta-fakta diatas, bukan serta merta kita mengecilkan ulama. Disini peran ulama tetap didukung. Suatu hal yang mustahal ( mustahil ) untuk memperbaiki moralitas, lantas kita berharap pada ulama atau intelektualitas, sementara yang paling berwenang dan strategis adalah aparat dan lembaga penegakan hukum. Ulama dan Intelektualitas lebih efektif jika menggerakan aksi demo. Inipun tidak memberi pengaruh karena diibaratkan ronda desa dimalam hari yang berkeliling kampung memukul kentong tapi tidak jelas arah targetnya.

Pesan moral agama dan intelektualitas tanpa didukung oleh hukum positif dan instrument pemerintah tidak akan mampu memberantas amoralitas. Begitupun lembaga keagamaan yang ada. Tugas mereka bukan menghukum amoralitas sosila dan korupsi yang banyak terjadi, tetapi menyampaikan pesan moral dan pendidikan agar memilih jalan hidup yang baik dan benar. Mereka tidak dibenarkan memberi hukuman seperti lembaga hukum formal polisi, jaksa dan komusioner terkait.

Saat ini kita bicarakan perilaku amoralitas daerah. Didaerah sering terjadi kerancauan berpikir, ketika terjadi issu amoralitas oleh pejabat, aparat atau masyarakat, yang menjadi sasaran tembak kekecewaan adalah tokoh-tokoh agama. Agama dan tokoh agamanya diharapkan jadi agen “ cuci piring “ setelah amoralitas dan asosila telah berpesta. Bisa dimaklumi, kenapa orang berharap semuanya pada agama, kerana berbagai khotbah mimbar agama selalu menekankan bahwa agama itu mengatur segala-galanya. Agama ditempatkan mesti bisa mengatur dan menyelesaikan persoalan hidup. Jika hal ini benar, kenapa di banyak daerah dan Negara sekuler tingkat amoralitas, asosila dan korupsi pejabat sangat rendah. Menjadi terbalik dinegara kita yang banyak dipenuhi organisasi agama, majelis taklim bahkan partai politik berciri keagamaan. Disini ada kesalahan persepsi, harapan, peran dan penempatan relasional antara agama, pemerintah ( Negara ) dan masyarakat.

Tidak perlu kita bicara Negara terlalu luas, Desentralisasi yang memberi kemandirian daerah melalui otonomi mungkin lebih mudah mengontrol amoralitas dan korupsi daerah. Persoalan terkikisnya nilai-nilai moralitas yang begitu cepat bergerak didaerah tidak selalu akibat globalisasi yang merubah pola pikir dan pola hidup. Namun hilangnya figure-figur keagaman yang berkualitas sebagai panutan bisa menjadi penyebab.

Rasanya memang ada yang salah dalam pendidikan agama dan dalam membangun relasi antara agama dan pemerintahan. Kini mengembalikan nilai moralitas dalam menghadapi tantangan globalisasi menjadi kebutuhan mendesak setiap daerah. Suatu solusi yang bisa diambil pemerintah, memunculkan kembali figure-figur keagamaan yang berkualitas melalui program pendidikan yang lebih baik. Pemerintah bisa melakukannya dengan kebijakan investasi, Kita berharap pada waktunya intelektualitas keagamaan yang baik ini akan gigih memberi pesan-pesan moral berimbang dengan situasi yang ada. Sehingga memfilter pola hidup dan pola pikir amoralitas terlihat ada korelasinya antara agama dan pemerintah*****

Tidak ada komentar: