Selasa, 02 November 2010

Ancaman Demokrasi Kita

ANCAMAN DEMOKRASI KITA

Beberapa hari terakhir, pikiran kita masih dibayangi oleh ketidak-pastian seperti apa bangsa ini kedepan. Pemberitaan media sebagai sumber informasi tidak pernah habis mempertontonkan fakta-fakta berbagai masalah serius yang dihadapi bangsa kita bukan lagi suatu yang sulit karena hak kebebasan berpendapat sudah dijamin oleh demokratisasi. Negeri ini pun mendapat pujian internasional karena proses demokrasi begitu maju oleh mayoritas islamnya yang begitu besar.

Negara kitapun semakin mantap dijuluki terdemokrasi lantaran salah satu pilar utama demokrasi adalah adanya multipartai politik. Indonesia yang memiliki masyarakat yang sangat majemuk, sangat logis kalau jumlah parpolnya begitu banyak. Ruang inipun menjadi tempat yang efektif bagi mereka untuk memperjuangkan cita-cita politiknya.

Dalam perjalanan demokrasi besar inipun, ternyata menyimpan ancaman serius bagi bangsa kita. Catatan dan kritik yang sering dimunculkan adalah mereka lebih menikmati kebebasannya, tapi menyelewengkan kualitas dan substansi demokrasi. Kita bisa melihat dari proses penyaringan wakil rakyat yang benar-benar berkualitas, baik sebagai legislative maupun ekskutif bisa dibilang belum ada yang mampu untuk mamajukan bangsa dan memakmurkan rakyat.

Beberapa pengamat menilai, proses dan hasil pilkada maupun pemilu yang berlangsung selama ini tidak menghasilkan pemerintahan yang dijanjikan dan yang diharapkan rakyat. ( baca juga tulisan di blog saya “ pilkada dan harapan” ). Partai politik menjadi sumber petaka karena terus melakukan kesalahan besar dalam penyaringan anggota legislative maupun eksekutif.

Setelah kita melihat morat – marutnya sistim pemerintahan dan munculnya berbagai gangguan stabilitas yang ada, kitapun bisa melihat akan munculnya ancaman terhadap demokrasi di Negara kita. Pertama, datang dari kelompok ekstremis-radikalis Islam yang menganggap pemerintahan produk demokrasi itu thaghut atau berhala, tidak berdasarkan ajaran Alquran. Alquran dan Rasulullah tidak mengajarkan pemilu. Sistim yang ada ini meniru Barat, mereka itu kafir, sehingga pemerintah produk demokrasi harus dimusuhi karena produk pemikiran kafir, bukan berdasarkan ajaran Islam yang murni.

Kedua, kultur dan sikap feodalisme yang semakin kuat dikalangan politisi dan pejabat pemerintahan. Ajaran demokrasi yang menekankan sikap egaliter dan kompetisi berdasarkan kualitas individu dimusnahkan oleh kultur perkoncoan dan kekelurgaan. Banyak pengangkatan jabatan strategis diberbagai Departemen bahkan di BUMN, berdasarkan perkoncoan dan kekeluargaan. Ini jelas meruntuhkan nilai dan prosedur demokratisasi yang kita dengung-dengungkan. ( kemarin tetangga saya mengeluh krn didepertemen tempatnya bekerja, praktek ini kental terjadi ).

Ketiga, Peran partai politik yang tidak mampu untuk melahirkan dan menyuplai kader atau figure-figur potensial yang terbaik untuk menyukseskan agenda demokratisasi serta pemerintahan yang good governance dan good government relations. Partai politik masih terlalu arogansi, ( kompas……, pengamat politik LIPI, Syamsudin Haris mengatakan ,“ politisi selalu bersikap sesat “.). Permasalahan ini, semestinya harus mendapat perhatian serius oleh tokoh-tokoh penting jajaran parpol. Tidak ada lagi yang patut kita tuntut dalam kebebasan demokrasi sekarang ini. Kadang ada komentar, Indonesia masuk dalam kelompok ultra-demokrasi. Namun, faktanya lain. Ruang kebebasan yang tersedia tidak pernah didukung oleh kinerja yang baik dan benar dari tokoh-tokoh parpol baik tingkat pusat maupun didaerah.

Tentu situasi dan kultur politik seperti ini tidak boleh berkepanjangan, masyarakat sudah terlampau capek dengan janji-janji demokrasi, dan sekarang suara itu sudah mulai bermunculan mengumpal diawan siap untuk meledak. Reformasi dan demokrasi hanya akan menjadi ungkapan peyoratif. Otonomisasi daerah mengalami distorsi dan penyimpangan dari yang dibayangkan semula.

Kondisi buruk ini harus cepat dihentikan, tokoh-toko garda umat islam terbesar didunia sebagai pendukung demokrasi harus berani bertindak dan mengkritisi penyimpangan yang mengancam demokratisasi yang berjalan. Parpol pun harus berhenti menjadi agen penjual tiket masuk legislative tampa seleksi. *****

Tidak ada komentar: