Rabu, 03 November 2010

Mengukur Diri

Mengukur Diri
Dua puluh tiga tahun lalu saya pernah mengajukan protes pada dosen disebuah perguruan tinggi tempat saya kuliah di Jakarta. Masalahnya, penulisan berita sebagai pekerjaan rumah yang saya buat seadanya itu dinilai bagus oleh dosen . Padahal saya tidak menulis berita dengan berlandaskan 5W + 1H sebagaimana lajimnya penulisan berita. Apalagi saat itu saya mahasiswa baru dan bandel yang memang belum banyak mengerti soal penulisan berita yang baik.
Penulisan berita yang saya buat dalam kondisi lelah dan ngantuk karena begadang semalam suntuk dengan teman-teman kost, maka menurut saya penulisan berita itu buruk, tidak akurat untuk kategori sebuah berita peristiwa.
Ada apa ?. Apa tidak salah memberi nilai ?. Bukankah pendidikan memerlukan kesungguhan ? Kalau begini saja sudah diberi nilai gabus, saya khawatir saya cepat puas diri. Sewaktu saya protes, dosen balik bertanya singkat, “ Maaf kamu dari mana “, “dari Bima “, jawab saya. Dia pun manggut dan senyum.” Saya mengerti “, jawab dosen yang juga memiliki kumis seperti saya, namun tetap simpatik.
Budaya Menghukum.
Dalam pertemuan itu merupakan titik balik yang penting bagi hidup saya. Itulah yang mengubah cara saya membangun diri sendiri maupun orang lain. “ Sering kali saya bertemu dengan orang dari Bima yang menjadi guru pendidik dijakarta “, lanjutnya. “ Orang Bima memiliki karakter yang keras, begitupun dengan mereka guru sebagai pendidik sangat sulit memberi nilai. Filosofi saya bukan untuk menghukum, melainkan merangsang orang supaya maju “.
Dia pun kembali melanjutkan argumentasinya. “ Saya sudah 32 tahun mengajar, setiap orang berbeda. Namun untuk mahasiswa seperti kamu yang bandel dan yang berkarakter keras dari daerah Bima yang hampir tidak banyak tersentuh oleh kemampuan tulis menulis apalagi media masa seperti di Jakarta ini, saya menjamin, ini adalah penulisan yang sangat hebat “, ujarnya.
Dari rentetan obrol tadi, saya mendapat pelajaran yang amat berharga. Kita tidak dapat mengukur prestasi orang lain menurut ukuran kita. Saya teringat betapa mudahnya seorang pemimpin sebuah daerah membangun kemajuan masyarakatnya dengan baik. Sementara sebagian pemimpin daerah lain harus cungkir balik ditengah ancaman demo dan kritik yang siap menerkam untuk meraih sukses.
Mereka daerah yang sukses, bekerja dengan grafik – grafik yang sangat terbuka, setiap unit kekuasaan diberi kewenangan dan pujian yang membuat mereka bersemangat menyelesaikan pekerjaan yang ditanggungjawabkan. Setiap kekurangan didiskusikan dengan penuh keterbukaan. Sebaliknya, daerah yang belum sukses masih cungkir balik karena pimpinan, kepala unit kekuasaan dan para staf bertindak dan bekerja bukan saling menolong, melainkan saling menekan dan menerkam diantara mereka.
Tidak sedikit mereka di pemerintahan daerah yang punya keahlian mengidap penyakit frustasi bukan karena tidak mampu bekerja, tetapi karena ditekan dan tidak diberi ruang yang luas untuk mengembangkan keahliannya. Hasilnya pun bisa ditebak, kualitas kerjaannya pastilah tidak sehebat keahliannya. Biasanya, orang yang berkerja dibawah tekanan, pastilah tidak menghasilkan yang terbaik. Ada semacam sakit hati atau dendam.
Pertanyaannya, bisakah kita mencetak orang-orang hebat dengan cara tidak mematikaf inisiatif dan mengendurkan semangat ?. Dengan demikian marilah kita renungkan dan mulailah mendorong kemajuan, bukan menaburkan benih ancaman atau ketakutan. Bantulah orang lain untuk maju, bukan dengan menghina atau memberi ancaman menakut-nakuti sehingga orang lain tidak leluasa mengembangkan keahliannya.
Karena itu, jika pemimpin suatu daerah ingin memajukan daerahnya, maka berikanlah kepercayaan pada ahlinya untuk membuat grafik-grafik yang terang-benderang untuk kemajuan banyak masyarakat, bukan dibatasi apalagi ditekan dengan motif kepenting sendiri yang berlabel masyarakat sehingga hasil akhirnya mengecewakan. ***

Tidak ada komentar: