Rabu, 03 November 2010

Rasionalitas dan Gaya Hidup

Rasionalitas dan Gaya Hidup.
Masyarakat memiliki strata – strata social sebagai harga diri. Strata atau kelas ini juga mempunyai banyak referensi yang berbeda-beda. Mereka yang terlahir dengan darah biru akan diposisikan pada strata social tinggi. Ada yang berdasarkan kasta berdasarkan pemahaman seperti masyarakat Hindu yang terjaga secara turun temurun. Dilingkungan masyarakat Jawa ada keluarga yang mengawetkan strata dengan mencantumkan gelar raden.
Dalam lingkungan pesantren anak kiai sering dipanggil Gus, menunjukan bahwa dia masih keturunan darah biru yang mesti dicintai dan dihormati oleh kalangan santri dan masyarakat. Tak ketinggalan juga dilingkungan minoritas turunan arab sering dipanggil Haba”ib atau al- Habib yang dicintai dan dihormati sebagian masyarakat karena alasan mewarisi darah rasulullah SAW.
Dengan kemajuan dunia pendidikan, strata social yang berlandaskan referensi primordial yaitu keunggulan hanya berdasarkan kelahiran dan keturunan mulai tergeser oleh rasionalitas keunggulan prestasi akademis-keilmuan yang kemudian diabadikan dengan titel kesarjanaan. Kalau dulu orang bangga dengan titel raden yang disingkat Rd, sekarang tersaingi oleh titel kampus doktor dengan singkatan Dr.
Di birokrasi kekuasaan, strata social birokrasi ini sangat besar pengaruhnya karena memiliki efek kekuasaan dan ekonomi. Hanya saja masa berlakunya tidak bertahan secara permanen. Dia bersifat sementara dalam posisi legalitas yang sah.
Cerita – cerita di atas hanya ingin menekankan satu hal bahwa setiap kominitas selalu melahirkan format pyramidal dengan referensi dan rasionalitas yang beraneka ragam. “ Orang boleh saja memperjuangkan idiologi masyarakat tampa kelas, semua sama kedudukannya dimata Tuhan dan didepan hukum, tapi strata dan hierarki social tetap saja ada”. ( Prof. DR. Komaruddin Hidayat ).
Gaya Hidup.
Dalam basa-basi dengan teman-teman dari kalangan kelas menengah pada kategori ekonomi bercerita, sekarang ini banyak orang yang ingin dirinya naik ke strata social atas atau setidaknya dipandang sebagai bagian dari komunitas strata atas. Untuk mencapai keinginannya, mereka terpaksa membeli “ tangga naik “ yang dapat dijadikan pijakan keatas berupa barang – barang bermerek dengan harga yang mahal. Dengan berjibun dan beragam aksesoris berkelas dunia, seseorang telah merasa sudah menjadi bagian dari strata atas.
Celakanya, semua kebutuhan dipakai mulai dari tas, baju, sepatu, jam tangan, mobil, perabot rumah tangga dan aksesoris lain didapat dari uang yang tidak selalu halal, tapi diambil dari hak orang lain dengan jalan korupsi. Ketika seseorang sudah merasa di strata pelataran atas , posisinya ingin selalu pergi di sebuah mal besar yang menawarkan beragam barang dengan harga puluhan dan ratusan juta.
Kebodohan belanja yang bukan merupakan kebutuhan dasar, melainkan hanya aksesoris belaka yang menghabiskan ratusan juta adalah belanja gaya hidup yang tidak rasional dan seseorang mendadak bisa miskin. Berapapun kekayaan akan selalu merasa kurang bila seseorang terjebak dalam domain ini, sebab yang berharga itu hanyalah aksesoris bukan pribadinya. Orang seperti ini harus dikasihani dan ditegur karena mereka terkena krisis kepercayaan diri dan kepribadian.
Mari cermati berbagai skandal korupsi dan kasus porak-porandanya keluarga dari berita di media yang semuanya bersumber dari gaya hidup agar dirinya dipandang sebagai bagian dari strata social atas. Tidak sedikit kita menemukan adanya jual beli izajah ( SMA, Sarjana ) oleh karena seseorang ingin memperoleh strata social akademik dimasyarakat. Padahal sejak dari tradisi didesa, sekolah dan kampus, harga diri seseorang itu dicapai karna ilmunya, pribadinya, dan kontribusinya pada masyarakat banyak. Bukan pada gaya hidupnya yang menjadikan materi dan pangkat sebagai topeng pemanis diri dan pendongkrak status social.
Ternyata jabatan dan kekayaan seseorang tidak selalu dibarengi dengan semakin dewasanya dalam memaknai, menjalani dan menghayati kehidupan agar semakin otentik. Gaya hidup yang cenderung melanggar eksistensi diri selalu berdampak pada rusaknya eksistensi social kemanusiaan secara menyeluruh.****

Tidak ada komentar: