Kamis, 23 April 2015

TKI MENGGUGAT

Aksi  demonstrasi  TKI dalam Aliansi Peduli TKI Menggugat Jokowi–JK didepan Istana Negara dan DPR RI ( 7/4/2015), kemarin, perlu di apresiasi sebagai sikap rasional  menuntut hak kerja warga negara yang dijamin konstitusi. 
Dan bisa dikatakan sebagai bentuk pelampiasan kemarahan TKI terhadap pemerintah yang melakukan Moratorium  terhadap Negara Arab Saudi sejak Agustus 2011 lalu.
Bicara penghentian penempatan TKI informal  termasuk Timur Tengah  saat ini dalam kacamata konstitusi, pemerintah terjerumus dalam sikap arogansi melawan konstitusi.
Belum lagi ketidakmapuan pemerintah menyediakan lapangan kerja  bagi  CTKI dengan keterbatasan kualitas.
Kesalahan besar lainnya oleh pemerintah adalah pemaknaan TKI informal atau pembantu rumah tangga dalam kategori informal pekerjaan tidak bermartabat. 
Padahal PRT adalah profesi kerja yang mestinya formal. Lalu dimana salahnya menjadi TKI dan tidak bermartabat?.                                      
Fakta akhir-akhir ini, dimana penempatan TKI informal ( versi pemerintah ) khususnya  Timur Tengah pasca Moratorium Arab Saudi mengalami devisit  yang amat riskan.
Kondisi yang semakin mempersulit warga negara untuk bertahan hidup., yang disebabkan ketidakpastian regulasi  akibat adanya  egoisme  antar pemerintah. 
Depnaker, Deplu dan BNP2TKI tidak dalam garis lurus menterjemahkan program penempatan dan Perlindungan TKI.
Sesungguhnya gugatan itu menjadi rasional ketika melihat dampak positif TKI. 
Merujuk pesan-pesan konstitusi dalam pembukaan mukadimah UUD45, “Negara berkewajiban mencerdaskan anak bangsa, dan pasal 27 UUD45. Negara berkewajiban memberi pekerjaan dan kehidupan layak bagi rakyat.“
Artinya, dampak positif itu secara nyata direspon oleh TKI dengan mampu meningkatkan  kualitas diri menjadi bisa berbahasa, Arab, Inggris dan Mandarin tanpa pendidikan formal dan tidak menggunakan anggaran Negara. 
Keunggulan lainnya dari TKI adalah multiple efek, baik ekonomi makro, lapangan kerja, pendidikan maupun psikososial  menjadi sangat strategis  dalam  pertumbuhan pembangunan bangsa.
Keuntungan besar Negara  dari TKI  inilah yang memicu munculnya Aksi demonstarasi.  TKI merasa dilecehkan dan didiskriminalisasi hak–hak kerjanya.
Dan penderitaan hidup kehilangan pekerjaan selama empat tahun itu membuat TKI memberontak.
Mestinya, Pemerintah bisa lebih adil  atas hak kerja  warga negara yang menjadi TKI dengan mengacu konstirusi. Bahkan disini perintah konstitusi dalam UU 39 tahun 2004, 
“pemerintah wajib meningkatkan kualitas dan perlindungan TKI “ tidak dijalankan. 
Kenapa  justeru pemerintah menutup hak kerja warga negara untuk menjadi TKI?.
Melihat kondisi nyata diatas, dapat dipastikan bahwa pemerintah  menunjukkan sikap arogansi , disatu sisi menabrak konstitusi hak kerja Warga negara, disisi lainnya tidak mampu menjalan perintah konstitusi  untuk meningkatkan kualitas dan perlindungan TKI. Bahkan pemerintah terlibat menjatuhkan martabat TKI.
Dalam unjuk rasa kemarin,  Mereka TKI  yang tergabung dalam Aliansi Peduli TKI menggugat Jokowi – JK menuntut  pemerintah untuk : 1. Cabut Moratorium, 2. bebaskan dan permudah Hak kerja menjadi TKI, 3. Tingkatkan kualitas dan perlindungan TKI, 3. Adanya jaminan regulasi kondusif  terhadap penempatan dan perlindungan TKI.  
Sebuah tuntutan yang wajar dan rasional untuk di apresiasi secara jernih oleh pemerintah, bila mana pemerintah punya kepedulian atas nasib dan hak hidup sebagian warga negara yang memiliki kualitas terbatas yang hanya bisa menjadi  TKI .

Oleh: Umar Ali MS
Ketua Umum Perhimpunana Rakyat Nusantara.


TKI dan Kemunafikan Pemerintah

Membicarakan Tenaga Kerja Indonesia ( TKI ) Pembantu Rumah Tangga  di Timur Tengah tidak pernah habis. Sejak munculnya di era tahun 1980 ( bukan TKI era jajahan ), lahirnya UU No 39 tahun 2004, terjadinya  penyiksaan,  Moratorium hingga  adanya hukuman pancung terhadap  TKI , mata hati dan telinga kita tersentak.  TKI memang memiliki dinamika problematic yang amat menarik dalam sejarah panjang perjalananya.

Akhir-akhir ini Dinamika itu kembali muncul. Tampa diduga hanya dalam dua hari pasca demo besar Aliansi Tenaga Kerja Indonesia Menggugat (ATKIM ) didepan Istana dan DPR RI ( 7/4 2015 ) lalu, yang sempat  mengagetkan  media  dari tidur panjang berita TKI,  tiba-tiba ibarat gayung bersambut, muncul berita dua TKI ( PRT ) Siti Zaenab dan Karni Madi dihukum pancung di Arab Saudi. Kondisi yang menambah aktualisasi pemberitaan TKI.

Sayangnya, berita-berita media  dari sumber  yang cenderung menekan pemerintah Jokowi, Depnaker, Deplu dan BNP2TKI ini  berusaha menggiring pemerintah untuk keluar dari substansi Hak Kerja dan Hak Hidup warga Negara.  Dimana Pemerintah dipaksa menghentikan penempatan TKI PRT ke Timur Tengah, Arab Saudi dll hanya dengan alasan demi martabat bangsa.

Tuntutan yang irasional dari fakta ‘ kemiskinan ‘ sebagian rakyat yang menuntut Hak Kerja dan Hak Hidup  layak yang dijamin konstitusi ( UUD45 ). Sementara kita sadar, tutup mata dengan  hilangnya hak Kerja mereka CTKI   ditengah ketidaktersediaan lapangan kerja dan upah rendah dalam Negeri sendiri. 

Pekerjaan apa dengan gaji berapa bagi mereka  yang hanya bisa bekerja di rumah tangga  untuk  menjamin harapan hidup dan harapan cita-cita anak dan keluarga mereka?, Inilah pertanyaan paling mendasar  supaya mereka bisa hidup lebih layak dan bermartabat.

Menjadi semakin ironis ketika fakta-fakta sukses TKI  bisa kerja diluar negeri, lebih cerdas karena bisa beragam bahasa adalah prestasi.  Kisah TKI sukses  menjadi  pengusaha mobil, Mini Market  dll terpampang luas, bahkan Menteri Tenaga Kerja  sekarang  M Hanif  Dhakiri  sukses tidak lepas dari hasil ibunya menjadi TKI. Lalu  kenapa dipelintir dalam pemikiran HAM yang menjadi acuan pemerintah bahwa  TKI PRT di Negara Arab itu membuat Bangsa tidak bermartabat.  Pertanyaannya?, Siapa yang merendahkan martabat TKI ?, Pemerintah, LSM.

Pengakuan Ijah mantan TKI Arab Saudi mengatakan, pasca Moratorium Pernah bekerja sebagai PRT di Garut, cuma digaji  Rp. 300.000,- di pabrik digaji Rp. 1.400.000,- Tidak cukup katanya.  Karena itu, dia ngotot ingin kembali mau bekerja  sebagai PRT di Arab Saudi. Sementara Isnawati mengaku  pernah kerja sebagai PRT di Taiwan dan Malaysia, bekerja sebagai PRT selama  tiga tahun merasa  tidak nyaman dan tertekan. Alasannya, selama itu harus berhadapan dengan pekerjaan ( maaf ) memasak babi  dan kehilangan waktu beribadah sebagai muslim. Isnawati mengaku harus mengikuti majikannya  sembahyang menyembah patung di Taiwan.  Bekerja di Arab saya bisa hidup layak  mencukupi kebutuhan, bisa beribadah dan bermartabat. Didalam Negeri  penyiksaan dan pembunuhan terhadap PRT tidak kalah sadis, dimana martabatnya?, keluh Ismawati.

Diera Kemanaker dipimpin Sudomo, dihadapan anggota Dewan terucap akan menghentikan pengiriman  64.000 TKI. Serendak disambut gembira oleh dewan. Tapi ketika Sudomo minta supaya anggota Dewan membuka lapangan kerja dengan upah layak bagi TKI supaya bermartabat , semua bungkam. “ Biarkan kita menjadi Negara ekspor pembantu, inilah konsekuensi  “, kata Sudomo

Dalam berbagai tulisan, seseorang bisa bermartabat  ditentukan diantaranya  oleh ‘ kecerdasan dan kesejahteraan ‘.  Lalu bagimana seseorang bisa bermartabat kalau tidak memiliki pengalaman kecerdasan dan bekerja.  Artinya menjadi TKI dengan sendirinya  telah berusaha  untuk  mencerdaskan diri  dan bekerja untuk bisa bermartabat.  Persolannya disini pemerintah telah salah kaprah.  TKI diposisikan sebagai ‘ pembantu ‘ bukan sebagai pekerja terhormat dan bermartabat.  Pemerintah masih dalam pikiran pecik, terkungkung dalam  makna  klasik social domestic, dimana TKI adalah pembantu rendahan atau babu ( zaman belanda ) yang bisanya hanya  pembersih sisa-sisa kerja majikan.

Penting dibayangkan, bagaimana TKI diujung desa  pendidikan Cuma SLTP tiba-tina menyalip para sarjana dalam negeri  meleset jauh  terbang lintas Negara  untuk diterima mengurusi  kebutuhan  pengguna ( majikan ),  mulai dari memasak , menyajikan makanan , urus  anak hingga merapikan pakain.  Dan rata2 bisa menggunakan  alat teknologi, tanpa melihat catatan criminal ( criminal screening )misalnya. 

TKI tiba-tiba menjadi bagian dalam rumahtangga yang dipercaya penuh ibarat seorang manager dalam rumah pengguna. Bukankah ini sebuah prestasi untuk dibanggakan?, bukankah ini sebuah Martabat bagi rakyat miskin?. Bandingkan dengan pejabat dalam negeri yang sewaktu-waktu bisa korupsi. Sehingga terus dicurigai dan diawasi.

Terlepas persoalan hukum yang terjadi sebagai konsekuensi resiko kerja, sesungguhnya perlindungan menjadi tolak ukur  kepedulian  pemerintah terhadap TKI.  Disini harus diakui pemerintah gagal dalam memberi perlindungan WNI (TKI ), bahkan PRT domistik saja kondisinya jauh lebih parah karena tidak dijamin adanya UU yang jelas.
Tetapi TKI Sejak UU No 39 tahun 2004 setelah sekian lama diluncurkan  dan dilengkapi dengan sejumlah Permen dan Kepmen,  puluhan tahun hasilnya nihil.  Tidak ada hasil yang dicapai  baik regulasi maupun teknis  terhadap upaya peningkatan perlindungan maupun meningkatkan kualitas TKI. Ujung-ujungnya pemerintah mengikuti  pendapat mengkambing hitamkan pelaku penempatan.

Semestinya pemerintah bisa lebih bijaksana  melihat kesungguhnya TKI menunjukan semangat besar mencari kehidupan  yang lebih layak. Dimana TKI dipercaya dan bermartabat dimata masyarakat Negara lain. Tidaklah elok bila masyarakat Negara lain lebih berani dan percaya mengangkat harkat dan martabat rakyat miskin kita.

Sementara di atas segala keuntungan Negara dengan adanya TKI, pemerintah bersikap munafik  tanpa malu harus menutup Hak Kerja dan Hak Hidup warga Negara yang menjadi TKI. Padahal fakta pemerintah gagal, tidak mampu berbuat  apa-apa  untuk meningkatkan perlindungan dan  meningkatkan kualitas TKI.

Penghentian  penempatan TKI  tanpa solusi  menyiapkan lapangan kerja dan upah layak adalah pelanggaran berat konstitusi.  Disini tugas pemerintah  bukan menutup penempatan TKI, namun harus  menjalankan pesan konstitusi  meningkatkan perlindungan dan  kualitas TKI untuk menempatkan posisi TKI sebagai  profesi kerja dengan mengacu konvensi ILO 189.  Tidak hanya berkelit dengan beragam alasan martabat  sehingga terlihat munafik. ***


Umar Ali MS,
Direktur  Kebijakan Publik ATKIM.