Kamis, 07 Mei 2015

Martabat Bangsa Dilecehkan Pemerintah TKI Jadi Korban.


Sekarang ini pemerintah dan banyak pihak mengatakan, TKI yang bekerja sebagai PRT diluar negeri  dituduh merendahkan   martabat Bangsa . Ini merupakan penghinaan yang jauh dari kearifan logika dan moral.

Pada dasarnya TKI adalah korban dari tindakan pemerintah yang tidak bermartabat. Jadi bukan TKI yang merendahkan martabat bangsa. Baik itu di luar Negeri maupun dalam Negeri.

Kita harus berpikir,  TKI  itu datang dari  kantong kantong kemiskinan dusun dan desa dengan pendidikan hanya SLTP bahkan SD tiba-tiba meleset jauh terbang lintas Negara meninggalkan dan melewati  jutaan Sarjana pengangguran dalam negeri  untuk pergi bekerja di luar negeri.

TKI – TKI ini masuk  diterima  menjadi keluarga  dirumah user  ( majikan ) mengurus, melayani segala kebutuhan  rumah tangga  tanpa melihat sejarah hidup dan catatan kriminal, lalu dipercaya penuh. Bukanlah ini sebuah martabat dan prestasi untuk kita banggakan?.

Mari kita bandingkan dengan sikap pemerintah  yang  menghentikan Hak Kerja Rakyat, melakukan pungutan liar disetiap layanan pablik dan koruptor. Paktek amoralitas yang  tidak pernah habis dan berhenti dalam negeri  yang nyata-nyata melanggar konstitusi dan nilai-nilai kemunisiaan.  Bukankah ini tindakan  yang merusak martabat bangsa?.

Kita harus berpikir bahwa  pesan-pesan tindakan  amoralitas  pejabat  ini telah sampai dan menjadi pembicaraan masyarakat dunia, termasuk dunia Arab, tidak ada yang bisa kita tutupi.  Lalu Siapa yang menjadi korban ketika masyarakat dunia atau Arab  berbicara tentang  korupsi, pungutan liar dll yang nyata terjadi dinegeri ini, kalau bukan TKI itu sendiri. Sebab mereka TKI berhadapan langsung dengan pertanyaan itu.

Kalau mau jujur lagi, TKI-TKI ini dengan kesantunan, kejujuran dan kepercayaan  yang didapatnya, sehingga bermartabat  bukan saja buat dirinya, juga telah berjasa berjuang  mengangkat harkat dan martabat bangsa  kita  pada masyarakat Arab.  Meskipun hati perih mendengar  pertanyaan  majikannya “ pejabat negaranya  mencuri, sogok dimana-mana dll “.

Jadi, tidak ada alasan yang cukup rasional untuk mengatakan menjadi TKI sebagai PRT di Negara Arab hanya merendahkan martabat Bangsa. Yang merendahkan martabat bangsa dimata dunia atau bangsa Arab  adalah perilaku amoral pemerintah itu sendiri. Justeru TKI menjadi korban.

Pemerintah harus bijaksana, bahwa TKI-TKI adalah profesi pekerja sedang  mencari hidup, punya cita-cita dan bermartabat  harus  dihormati.  Cukup kita lihat penderitaan mereka berjuang, tapi jangan kita bebani lagi dengan argumentasi pecik tanpa kearifan logika dan kearifan moral. Kita harus realistis, bahwa mereka menjadi TKI tidak terlepas dari akibat kehilangan ruang kerja  dari rusaknya  kinerja pemerintahan.

Pemerintah tidak boleh terjerumus dalam pemikiran murahan lantaran takut dengan tekanan pihak-pihak yang tidak memahami permasalahan  TKI. Kasihan, TKI itu adalah rakyat yang tiap hari harus makan supaya hidup. Jangan biarkan Rakyat  lapar, menjadi iri, penonton dan penghayal  karena ruang kebutuhan hidup tertutup.

Mengatakan TKI melecehkan martabat Bangsa sama halnya penghinaan bahkan menindas hak hidup TKI sebagai warga masyarakat. Sebaiknya Pemerintah mencari solusi dan realistis melihat persoalan TKI.

TKI dengan semangat yang tinggi berani mengadu nasib dinegeri orang dengan mengenyampingkan resiko sebagai konsekuensi kerja , semestinya menjadi asset  strategis  yang menguntungkan Bangsa.  Sebab, outback dari TKI adalah percepatan pertumbuhan sumber daya manusia yang paling efektif  bagi rakyat berpendidikan rendah untuk  menghadapi tantangan pertumbuhan global dan  ekonomi bebas Asia ( MEA ) yang menuntut rakyat Indonesia  untuk lebih cerdas.

Karena itu, pemerintah atau siapa saja perlu menyikapi permasalah TKI secara jernih. Gunakan naluri kemanusian secara benar, jangan kearifan logika dan kearifan moral kita simpan di pot bunga, tetapi simpanlah dikepala dan hati. Bahwa TKI tidak akan pernah merusak martabat Bangsa, melainkan korban dari akibat tindakan pemerintah yang tidak bermartabat.

.

 






Kamis, 23 April 2015

TKI MENGGUGAT

Aksi  demonstrasi  TKI dalam Aliansi Peduli TKI Menggugat Jokowi–JK didepan Istana Negara dan DPR RI ( 7/4/2015), kemarin, perlu di apresiasi sebagai sikap rasional  menuntut hak kerja warga negara yang dijamin konstitusi. 
Dan bisa dikatakan sebagai bentuk pelampiasan kemarahan TKI terhadap pemerintah yang melakukan Moratorium  terhadap Negara Arab Saudi sejak Agustus 2011 lalu.
Bicara penghentian penempatan TKI informal  termasuk Timur Tengah  saat ini dalam kacamata konstitusi, pemerintah terjerumus dalam sikap arogansi melawan konstitusi.
Belum lagi ketidakmapuan pemerintah menyediakan lapangan kerja  bagi  CTKI dengan keterbatasan kualitas.
Kesalahan besar lainnya oleh pemerintah adalah pemaknaan TKI informal atau pembantu rumah tangga dalam kategori informal pekerjaan tidak bermartabat. 
Padahal PRT adalah profesi kerja yang mestinya formal. Lalu dimana salahnya menjadi TKI dan tidak bermartabat?.                                      
Fakta akhir-akhir ini, dimana penempatan TKI informal ( versi pemerintah ) khususnya  Timur Tengah pasca Moratorium Arab Saudi mengalami devisit  yang amat riskan.
Kondisi yang semakin mempersulit warga negara untuk bertahan hidup., yang disebabkan ketidakpastian regulasi  akibat adanya  egoisme  antar pemerintah. 
Depnaker, Deplu dan BNP2TKI tidak dalam garis lurus menterjemahkan program penempatan dan Perlindungan TKI.
Sesungguhnya gugatan itu menjadi rasional ketika melihat dampak positif TKI. 
Merujuk pesan-pesan konstitusi dalam pembukaan mukadimah UUD45, “Negara berkewajiban mencerdaskan anak bangsa, dan pasal 27 UUD45. Negara berkewajiban memberi pekerjaan dan kehidupan layak bagi rakyat.“
Artinya, dampak positif itu secara nyata direspon oleh TKI dengan mampu meningkatkan  kualitas diri menjadi bisa berbahasa, Arab, Inggris dan Mandarin tanpa pendidikan formal dan tidak menggunakan anggaran Negara. 
Keunggulan lainnya dari TKI adalah multiple efek, baik ekonomi makro, lapangan kerja, pendidikan maupun psikososial  menjadi sangat strategis  dalam  pertumbuhan pembangunan bangsa.
Keuntungan besar Negara  dari TKI  inilah yang memicu munculnya Aksi demonstarasi.  TKI merasa dilecehkan dan didiskriminalisasi hak–hak kerjanya.
Dan penderitaan hidup kehilangan pekerjaan selama empat tahun itu membuat TKI memberontak.
Mestinya, Pemerintah bisa lebih adil  atas hak kerja  warga negara yang menjadi TKI dengan mengacu konstirusi. Bahkan disini perintah konstitusi dalam UU 39 tahun 2004, 
“pemerintah wajib meningkatkan kualitas dan perlindungan TKI “ tidak dijalankan. 
Kenapa  justeru pemerintah menutup hak kerja warga negara untuk menjadi TKI?.
Melihat kondisi nyata diatas, dapat dipastikan bahwa pemerintah  menunjukkan sikap arogansi , disatu sisi menabrak konstitusi hak kerja Warga negara, disisi lainnya tidak mampu menjalan perintah konstitusi  untuk meningkatkan kualitas dan perlindungan TKI. Bahkan pemerintah terlibat menjatuhkan martabat TKI.
Dalam unjuk rasa kemarin,  Mereka TKI  yang tergabung dalam Aliansi Peduli TKI menggugat Jokowi – JK menuntut  pemerintah untuk : 1. Cabut Moratorium, 2. bebaskan dan permudah Hak kerja menjadi TKI, 3. Tingkatkan kualitas dan perlindungan TKI, 3. Adanya jaminan regulasi kondusif  terhadap penempatan dan perlindungan TKI.  
Sebuah tuntutan yang wajar dan rasional untuk di apresiasi secara jernih oleh pemerintah, bila mana pemerintah punya kepedulian atas nasib dan hak hidup sebagian warga negara yang memiliki kualitas terbatas yang hanya bisa menjadi  TKI .

Oleh: Umar Ali MS
Ketua Umum Perhimpunana Rakyat Nusantara.


TKI dan Kemunafikan Pemerintah

Membicarakan Tenaga Kerja Indonesia ( TKI ) Pembantu Rumah Tangga  di Timur Tengah tidak pernah habis. Sejak munculnya di era tahun 1980 ( bukan TKI era jajahan ), lahirnya UU No 39 tahun 2004, terjadinya  penyiksaan,  Moratorium hingga  adanya hukuman pancung terhadap  TKI , mata hati dan telinga kita tersentak.  TKI memang memiliki dinamika problematic yang amat menarik dalam sejarah panjang perjalananya.

Akhir-akhir ini Dinamika itu kembali muncul. Tampa diduga hanya dalam dua hari pasca demo besar Aliansi Tenaga Kerja Indonesia Menggugat (ATKIM ) didepan Istana dan DPR RI ( 7/4 2015 ) lalu, yang sempat  mengagetkan  media  dari tidur panjang berita TKI,  tiba-tiba ibarat gayung bersambut, muncul berita dua TKI ( PRT ) Siti Zaenab dan Karni Madi dihukum pancung di Arab Saudi. Kondisi yang menambah aktualisasi pemberitaan TKI.

Sayangnya, berita-berita media  dari sumber  yang cenderung menekan pemerintah Jokowi, Depnaker, Deplu dan BNP2TKI ini  berusaha menggiring pemerintah untuk keluar dari substansi Hak Kerja dan Hak Hidup warga Negara.  Dimana Pemerintah dipaksa menghentikan penempatan TKI PRT ke Timur Tengah, Arab Saudi dll hanya dengan alasan demi martabat bangsa.

Tuntutan yang irasional dari fakta ‘ kemiskinan ‘ sebagian rakyat yang menuntut Hak Kerja dan Hak Hidup  layak yang dijamin konstitusi ( UUD45 ). Sementara kita sadar, tutup mata dengan  hilangnya hak Kerja mereka CTKI   ditengah ketidaktersediaan lapangan kerja dan upah rendah dalam Negeri sendiri. 

Pekerjaan apa dengan gaji berapa bagi mereka  yang hanya bisa bekerja di rumah tangga  untuk  menjamin harapan hidup dan harapan cita-cita anak dan keluarga mereka?, Inilah pertanyaan paling mendasar  supaya mereka bisa hidup lebih layak dan bermartabat.

Menjadi semakin ironis ketika fakta-fakta sukses TKI  bisa kerja diluar negeri, lebih cerdas karena bisa beragam bahasa adalah prestasi.  Kisah TKI sukses  menjadi  pengusaha mobil, Mini Market  dll terpampang luas, bahkan Menteri Tenaga Kerja  sekarang  M Hanif  Dhakiri  sukses tidak lepas dari hasil ibunya menjadi TKI. Lalu  kenapa dipelintir dalam pemikiran HAM yang menjadi acuan pemerintah bahwa  TKI PRT di Negara Arab itu membuat Bangsa tidak bermartabat.  Pertanyaannya?, Siapa yang merendahkan martabat TKI ?, Pemerintah, LSM.

Pengakuan Ijah mantan TKI Arab Saudi mengatakan, pasca Moratorium Pernah bekerja sebagai PRT di Garut, cuma digaji  Rp. 300.000,- di pabrik digaji Rp. 1.400.000,- Tidak cukup katanya.  Karena itu, dia ngotot ingin kembali mau bekerja  sebagai PRT di Arab Saudi. Sementara Isnawati mengaku  pernah kerja sebagai PRT di Taiwan dan Malaysia, bekerja sebagai PRT selama  tiga tahun merasa  tidak nyaman dan tertekan. Alasannya, selama itu harus berhadapan dengan pekerjaan ( maaf ) memasak babi  dan kehilangan waktu beribadah sebagai muslim. Isnawati mengaku harus mengikuti majikannya  sembahyang menyembah patung di Taiwan.  Bekerja di Arab saya bisa hidup layak  mencukupi kebutuhan, bisa beribadah dan bermartabat. Didalam Negeri  penyiksaan dan pembunuhan terhadap PRT tidak kalah sadis, dimana martabatnya?, keluh Ismawati.

Diera Kemanaker dipimpin Sudomo, dihadapan anggota Dewan terucap akan menghentikan pengiriman  64.000 TKI. Serendak disambut gembira oleh dewan. Tapi ketika Sudomo minta supaya anggota Dewan membuka lapangan kerja dengan upah layak bagi TKI supaya bermartabat , semua bungkam. “ Biarkan kita menjadi Negara ekspor pembantu, inilah konsekuensi  “, kata Sudomo

Dalam berbagai tulisan, seseorang bisa bermartabat  ditentukan diantaranya  oleh ‘ kecerdasan dan kesejahteraan ‘.  Lalu bagimana seseorang bisa bermartabat kalau tidak memiliki pengalaman kecerdasan dan bekerja.  Artinya menjadi TKI dengan sendirinya  telah berusaha  untuk  mencerdaskan diri  dan bekerja untuk bisa bermartabat.  Persolannya disini pemerintah telah salah kaprah.  TKI diposisikan sebagai ‘ pembantu ‘ bukan sebagai pekerja terhormat dan bermartabat.  Pemerintah masih dalam pikiran pecik, terkungkung dalam  makna  klasik social domestic, dimana TKI adalah pembantu rendahan atau babu ( zaman belanda ) yang bisanya hanya  pembersih sisa-sisa kerja majikan.

Penting dibayangkan, bagaimana TKI diujung desa  pendidikan Cuma SLTP tiba-tina menyalip para sarjana dalam negeri  meleset jauh  terbang lintas Negara  untuk diterima mengurusi  kebutuhan  pengguna ( majikan ),  mulai dari memasak , menyajikan makanan , urus  anak hingga merapikan pakain.  Dan rata2 bisa menggunakan  alat teknologi, tanpa melihat catatan criminal ( criminal screening )misalnya. 

TKI tiba-tiba menjadi bagian dalam rumahtangga yang dipercaya penuh ibarat seorang manager dalam rumah pengguna. Bukankah ini sebuah prestasi untuk dibanggakan?, bukankah ini sebuah Martabat bagi rakyat miskin?. Bandingkan dengan pejabat dalam negeri yang sewaktu-waktu bisa korupsi. Sehingga terus dicurigai dan diawasi.

Terlepas persoalan hukum yang terjadi sebagai konsekuensi resiko kerja, sesungguhnya perlindungan menjadi tolak ukur  kepedulian  pemerintah terhadap TKI.  Disini harus diakui pemerintah gagal dalam memberi perlindungan WNI (TKI ), bahkan PRT domistik saja kondisinya jauh lebih parah karena tidak dijamin adanya UU yang jelas.
Tetapi TKI Sejak UU No 39 tahun 2004 setelah sekian lama diluncurkan  dan dilengkapi dengan sejumlah Permen dan Kepmen,  puluhan tahun hasilnya nihil.  Tidak ada hasil yang dicapai  baik regulasi maupun teknis  terhadap upaya peningkatan perlindungan maupun meningkatkan kualitas TKI. Ujung-ujungnya pemerintah mengikuti  pendapat mengkambing hitamkan pelaku penempatan.

Semestinya pemerintah bisa lebih bijaksana  melihat kesungguhnya TKI menunjukan semangat besar mencari kehidupan  yang lebih layak. Dimana TKI dipercaya dan bermartabat dimata masyarakat Negara lain. Tidaklah elok bila masyarakat Negara lain lebih berani dan percaya mengangkat harkat dan martabat rakyat miskin kita.

Sementara di atas segala keuntungan Negara dengan adanya TKI, pemerintah bersikap munafik  tanpa malu harus menutup Hak Kerja dan Hak Hidup warga Negara yang menjadi TKI. Padahal fakta pemerintah gagal, tidak mampu berbuat  apa-apa  untuk meningkatkan perlindungan dan  meningkatkan kualitas TKI.

Penghentian  penempatan TKI  tanpa solusi  menyiapkan lapangan kerja dan upah layak adalah pelanggaran berat konstitusi.  Disini tugas pemerintah  bukan menutup penempatan TKI, namun harus  menjalankan pesan konstitusi  meningkatkan perlindungan dan  kualitas TKI untuk menempatkan posisi TKI sebagai  profesi kerja dengan mengacu konvensi ILO 189.  Tidak hanya berkelit dengan beragam alasan martabat  sehingga terlihat munafik. ***


Umar Ali MS,
Direktur  Kebijakan Publik ATKIM.


Minggu, 17 Agustus 2014

MENGISI KEMERDEKAAN DENGAN AKHLAK MULIA.

MENGISI KEMERDEKAAN DENGAN AKHLAK MULIA. ( renungan pagi ). Salam Pagi, Merdeka!!!!, ALHAMDULILLAH, puji syukur kepada Allah azza wa jalla, Rabb yg menciptakan seluruh kehidupan dan memberikan rahmat dan hidayah kepada orang2 yg di pilihNya. Shalawat serta salam semoga tercerah kepada suri teladan sepanjang masa, Nabiyillah Muhammad saw.., juga, salam kepada keluarga, sahabat, tab'in, orang orang shaleh yang selalu menegakan Islam, serta umatnya hingga akhir. Memperingati Kemerdekaan 17 Agustus 1945, ini hari menjadi renungan atas jasa-jasa pahlawan kita. Semoga hari ini pun kemerdekaan yang ke 69 tahun Bangsa kita benar benar di syukuri, khusunya para pemimpin untuk bekerja dengan kemuliaan akhlak. " innamaa bu'itstu li utammima makaarimal akhlak " Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik " ( al hadits ). Allah telah menciptakan manusia sebagai khalifah ( pengganti-Nya ) dimuka bumi untuk mengelola alam semesta ciptaanNya dan hidup bersama dengan makluk lainnya dengan baik. " Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah - khalifah di bumi, barang siapa kafir, maka ( akibat ) kekafirannya akan menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang kafit itu hanya akan menambah kemurkaan disisi Tuhan mereka. Dan kekafiran orang orang kafir itu hanya akan menambah kerugian mereka kelak ", ( al- Faatir: 39). Dengan demikian, yang berhak menjadi khalifah dimuka bumi ini, sebenarnya mereka yang tidak ingkar. Kerena yang ingkar itu hanya akan menambah kemurkaan Allah. Maka, tanggung jawab seorang Muslim harus lebih besar sebagai khalifah dimuka bumi, karena di punggung merekalah bangsa ini seharusnya diatur. Dalam mengelola alam dan hidup bermasyarakat sebagai khalifah, khusunya mereka yang menjadi pemimpin bagi bangsa ini harus punya ETIKA dalam pribadinya yang memerankan diri sebagai " khalifah lil ardh", ( bukan istilah khalifat dalam negara Islam ). Karena itu setiap pemimpin sebagai khalifah harus mempunyai ' kompetensi ' yang sesuai harapan Sang Khalik pemilik alam semesta. Salah satu kompetensi itu adalah ETIKA dan AHKLAK. Ahklak terhadap Allah sebagai Sang pencipta, ahklak kepada Rasulullah saw, sebagai manusia penyampai kebenaran Sang Khalik, ahklak kepada sesama manusia, ahklak kepada lingkungan dan ahklak kepada diri sendiri. Khusunya kepada pemimpin bangsa kita saat ini, ahklak menjadi sangat penting, mengingat bahwa kerusakan dimuka bumi terlebih lagi dinegara kita yang telah mencapai kemerdekaan 69 tahun mengalami kerusakan ahklak pada banyak pemimpinnya. Pemimpin-pemimpin kita tidak lagi mewarisi dirnya sebagai khalifah yang bekerja penuh ahklak. Untuk itu, dalam mempertingati hari kemerdekaan ini, kita berharap baik diri sendiri atau pemimpin dapat segera mengambil suri kedeladanan Rasulullah untuk memuliakan etika dan ahklak dalam setiap tindakan. Dengan semikian, kita atau pemimpin adalah khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan, wajib untuk menjaga keseimbangan dan keadilan bagi kehidupan bagi bangsa yang kita cintai bersama. Wassalam.

Rabu, 06 Agustus 2014

KPK Harus Evaluasi Semua Tempat Layanan TKI / Semua Tempat Layanan TKI Harus di Evaluasi. Pemerasan TKI di bandara hanyalah kulit luar yang tidak banyak berarti. Pemerasan yang mendasar sesungguhnya itu terjadi disemua aspek pelayanan penempatan TKI baik yang ada di pemerintah maupun stakeholder yang ada “ Pemerasan terhadap penempatan TKI itu tidak cukup dilihat pada tahap pemulangan TKI, tapi ada pemerasaan yang jauh lebih besar terjadi di tahap proses awal hingga pemberangkatan TKI yang terindikasi kuat melibatkan sejumlah oknum “. Sidak gabungan yang dilakukan KPK bersama Mabes Polri terhadap pemerasan TKI di Bandara Soekarno Hatta beberapa waktu lalu menjadi pintu masuk untuk mengevaluasi semua tempat pelayanan TKI. Dengan semikian kita dapat melihat banyak masalah untuk diperbaiki dan merusmuskan perlindungan TKI yang maksimal. Penting kami mengapresiasi langkah KPK untuk mengungkap adanya pemerasan TKI tidak sebatas pada masalah pemulangan di Bandara, tapi kami inginkan KPK masuk lebih jauh kedalam semua aspek tempat pelayanan penempatan TKI yang terindikasi terjadi praktek pemerasan cukup lama mengakar khususnya di BNP2TKI sebagai pelaksana teknis. Karena itu kami minta KPK, Dan berharap serius menerima tantangan kepala BNP2TKI Gatot Abdullah Mansyur untuk melakukan evaluasi di Lembaganya. Sebab di Badan inilah terjadi banyak penyimpangan terindikasi pemerasan terhadap proses penempatan TKI seperti penempatan TKI G to G Korea, TKI mandiri Taiwan, Dan bercokolnya sejumlah bank penjamin pinjaman TKI yang melakukan pemerasan gaji TKI Asia Pasifik ( Aspak ) dibawah naungan BNP2TKI. Belum lagi pemerasan melalui sistim yang ada di Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI ( BNP2TKI ) sebagai pelaksana teknis dan pengawasan penempatan TKI belum berjalan optimal, bahkan sering terjadi kebocoran. Sebagai contoh online sistim untuk pengawasan pendidikan dan pelatihan yang mestinya 200 jam sering kecolongan menjadi 3-4 jam, dampaknya sangat dahsyat pada waktu yang menyebabkan bukan saja terjadinya kompetitif pada pelaku penempatan, namun ikut mengganggu psikologis TKI dan keluarga TKI karena adanya perbedaan waktu pemberangkatan. Pemerasan terhadap proses penempatan TKI juga berjalan mulus pada tahapan BLKLN, Pemeriksaan Kesehatan TKI dan Pembekalan akhir pemberangkatan ( PAP ). Khusus PAP yang semestinya dibiayai anggaran APBN melalui BNP2TKI, namun dalam prakteknya dibebankan pada pelaku penempatan. Selain itu, pembenahan juga penting dilakukan terhadap petugas pemerintah di pos pos pelayanan TKI seperti, Disnaker, BP3TKI, imigrasi, bandara yang mudah diajak main mata oleh pihak pihak tertentu untuk menyalahgunakan kewenangan, sehingga tidak sedikit terjadi human trafficking akibat kelalain ini.Bahkan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) produk BNP2TKI ini yang menjadi identitas sekaligus sebagai syarat untuk Kerja di Luar negeri beredar bebas dan bisa dijual belikan. Pantauan kami akhir-akhir ini akibat permainan diatas dan didukung oleh adanya Moratorium yang belum dicabut menjadi pemicu terjadi peningkatan penempatan illegal hingga 50 %. Dengan melihat sejumlah dinamika permasalahan penempatan TKI, Dan untuk mewujudkan perlindungan yang optimal terhadap TKI, kami minta KPK dan Mabes Polri untuk lebih jauh mengungkap permasalahan ini dan kami siap bekerja sama untuk sharing demi memperbaiki penempatan dan perlindunganTKI. UMAR ALI MS KA. UMUM PERHIMPUNAN RAKYAT NUSANTARA http://saherangga.blogspot.com/

Jumat, 03 Desember 2010

Politisasi Kasus TKI

Politisasi Kasus TKI.
Luar biasa hebatnya pemberitaan media massa atas kasus penyiksaan TKI diluar negeri akhir-akhir ini. Media telah menempatkan penyiksaan TKI luar negeri sebagai berita istimewa melebihi kasus mafia hukum dan Korupsi. Berbagai elemen masyarakatpun angkat bicara dengan porsinya masing-masing untuk mendudukan permasalahan TKI ada dimana.
Melihat opini yang berkembang, Sejumlah pandangan terkesan tidak berimbang dan cenderung memberi vonis bahwa TKI adalah korban kekerasan yang tidak pernah berhenti karena rule of law pemerintah terlalu lemah. Tidak salah memang, jika aspek hukum menjadi persoalan yang dijadikan acuan utama. Tapi bila kita melihat penempatan TKI secara lebih luas, maka akan ada sejumlah persoalan lain terkait lemahnya rule of law tadi.
Sesungguhnya, pemberitaan gencar media massa baik cetak maupun elektronik yang kita lihat adalah pandangan atas kelalaian Negara dalam tata kelola perlindungan hukum bagi TKI. Pandangan yang muncul banyak mempersoalkan perlindungan TKI oleh Negara dari siksaan semata tanpa melihat aspek kesuksesan bagi sebagian besar TKI dan aspek keuntungan Negara yang lebih luas dari sector ekonomi dan psikososialnya. Termasuk kondisi ril Negara ditengah kebutuhan dan kemiskinan sebagian rakyat yang belum bisa diatasi Negara.
Secara hukum, persoalan TKI akan berada didalam wilayah ‘ Dua Negara ‘ , Dimana setiap negara ditetapkan bertanggung jawab atas terjadinya tindakan kesalahan. Pertanyaan, apakah penyiksaan TKI sudah mendapat perlindungan dari Negara ?. Sepanjang kejadian siksaan terhadap TKI, bisa dibilang Negara telah lalai dalam tanggung-jawabnya. Hampir dipastikan baik Negara asal maupun sejumlah Negara penempatan tidak berfungsi efektif memberi pelayanan dan perlindungan TKI.
Dalam situasi Negara mengalami situasi politik yang panas, dan tata kelola hukum pemerintah yg lemah, maka penyiksaan TKI harus diakui menjadi issu strategis dilibatkan yang kemudian dipolitisir untuk melengkapi buruknya pengelolaan hukum Negara oleh pemerintahan yang ada. Politisasi kasus TKI-pun semakin lancar dan membias karena dukungan media massa lebih menyukai pemberitaan bermasalah dari pada kesuksesan TKI yang jauh lebih besar.
Berangkat dari sejarah penempatan TKI keluar negeri yang awalnya dirintis pihak swasta kemudian Negara terlibat melalui UU dan sejumlah peraturan untuk memberi adanya jaminan perlindungan serta peningkatan kualitas, maka penempatan TKI luar negeri dengan sendirinya telah menjadi program nasional yang sama dengan program transmigrasi maupun pengentasan kemiskinan. Namun dalam implementasinya, TKI hanya menjadi subyek untuk mewajibkan mengikuti aturan-aturan Negara tanpa mendapat pelayanan dan perlindungan maksimal.
Munculnya pilihan menjadi TKI bekerja sebagai pembantu rumah tangga di negeri orang semakin hari terus meningkat tidak juga bisa kita salahkan. Fakta- fakta yang memberi gambaran obyektif dan langsung dari kemiskinan nyata banyak yang sukses menjadi TKI didepan mata , Lantas dengan keterbatasan berpikir, hanya menjadi TKI lah bagi sebagian rakyat bisa melepaskan diri dari kungkungan ekonomi dinegeri sendiri. Sebuah fakta memang yang harus dilakukan oleh sebagian besar rakyat miskin yang tidak memiliki kemampuan untuk berkompetitif dengan ketidak-tersediaan lapangan kerja dalam negeri.
Keterlibatan Negara terhadap penempatan dan perlindungan TKI memang memberi keuntungan, disatu hal terbukti membawa dampak social yg baik dan member i keuntungan dalam sector ekonomi melalui devisa. Namun melihat kemiskinan nyata yg signifikan serta kasus yang dialami TKI di luar negeri yang kehilangan perlindungan , maka Negara terpojokan dalam posisi dilematis. Disatu sisi Negara berhadapan kemiskinan dan disisi lain belum mampu memberi perlindungan optimal bagi TKI.
Pemerintah serta PPTKIS sebagai wakil Negara dalam pelaksana penempatan TKI senantiasa dihujat sebagai biang kerok lemahnya perlindungan dan peningkatan kualitas TKI, karena dituding pemalsuan document dan sebagainya. Tetapi semua pihak tidak mau melihat bahwa pemalsuan document juga banyak dilakukan oleh TKI dan keluarganya . Tindakan ini terpaksa dilakukan karena hukum Negara seperti pembatasan usia minimal 21 tahun oleh UU 39 Tahun 2004, dianggap telah membatasi hak mereka untuk bekerja dan mendapat kehidupan layak.
Bicara perlindungan dan peningkatan kualitas TKI dalam Negeri , harus dilihat dari sejumlah ketentuan yang dibuat pemerintah. Ketentuan TKI diwajibkan menjalani tahapan proses peningkatan kualitas dan perlindungan dalam negeri seperti pemeriksaan Kesehatan, BLK-LN, Paspor, Ansuransi Pra pemberangkatan dan Ansuransi pemberangkatan telah di ikuti dan sepenuhnya dibiayai dari dana Negara penempatan, bukan dana APBN. Artinya Negara penempatan cukup koperatif terkait upaya peningkatan kualitas dan perlindungan TKI.
Aspek lainya adalah multiple-efek, dimana TKI memberi masukan signifikan bagi penerbangan kita, pedagang kaki –lima disemua pos pelayaan TKI, dan miliaran rupiah masuk di tiap daerah dari kiriman TKI tiap hari . Termasuk dana pembinaan dan perlindungan sebesar 15 Dollar per TKI kepada pemerintah sejak 25 tahun lalu yang hingga kini tidak jelas kemana arah pengelolaannya. Cukup jelas begitu besar dampak positif dari program penempatan dan perlindungan TKI. Namun, persoalan penting disini adalah keterlibatan Negara yang belum optimal dalam peningkatan kualitas kerja dan kualitas mentalitas TKI. Dua aspek ini cenderung menjadi sumber masalah munculnya sejumlah kasus, apalagi pihak penggunan jasa ( majikan ) merasa telah mengeluarkan banyak anggaran.
Persoalan menjadi lain ketika muncul kasus siksaan terhadap TKI diluar negeri oleh sedikit orang seperti Arab Saudi misalnya, masyarakat begitu cepat bereaksi dan menghujat suatu Negara tanpa melihat berbagai aspek lain. Persoalan terjadi penyeiksaan sebenarnya bisa dikatakan konsekwensi resiko yang relative muncul dimana saja. Tetapi atas desekan kebutuhan dan pendapatan yang lebih baik, animo menjadi TKI mengalahkan resiko. TKI telah mengambil jalan sendiri dan tidak melihat ada kepedulian dari dalam Negeri yang menjamin perubahan nasib mereka.
Adakah kita menyadari bagaimana sulitnya rakyat miskin mempertahankan hidup dengan kemampuan sebatas menjadi pembantu rumah tangga, Apakah ada jaminan pemerintah untuk melahirkan peraturan mewajibkan setiap pengguna jasa pembantu rumah tanggaa dalam negeri ditetapkan dengan gaji mencukupi. Adakah inisiatif DPR RI untuk membuat UU yang lebih memberi pelayanan dan perlindungan dengan baik, atau adakah diantara kita mau memikirkan kemiskinan mereka , kalau bukan setelah mereka menjadi TKI dan disiksa, dan sederet pertanyaan lain yg menyangkut adanya jaminan kehidupan yang layak bagi rakyat miskin.
Jika kita melihat dengan rasional yang obyektif, maka pantas kita bertanya, bukankah Negara-Negara penempatan seperti Negara - Negara Arab dan Negara Asia pasifik lainnya telah banyak membantu perbaikan nasib sebagian rakyat kita. Bukankah Negara –Negara tersebut mau menerima masyarakat kita karena melihat factor keagamaan dan kemiskinan. Mungkinkah TKI kita yang hanya memiliki kemampuan sebatas pembantu rumah tangga diterima di Negara Eropa, kalau jika bukan Negara-Negara Arab.
Sangat disayangkan oleh kita semua, jika benar persoalan TKI sekarang telah dipolitisir oleh kepentingan politik atau telah dimanfaatkan kepentingan kelompok tertentu yang memiliki motifasi untuk mengalihkan dominasi penempatan TKI pada wilayah Negara tertentu.
Kita tidak pantas bersikap munafik dengan alasan harga diri, tetapi tidak mampu memahami masalah untuk asal bicara sehingga merendahkan nilai intelektual kita. Fakta Prosentase keuntungan Negara dalam sector ekonomi melalui devisa dan pengiriman gaji serta multi efek lain jauh lebih tinggi dibanding kegagalan karena kasus. Begitupun dengan prosentase fakta dalam sector psikososial , dimana menjadi TKI telah mampu mengangkat harkat martabat atas kemiskinan , pola pikir dan pola hidup mereka lebih baik, bukan oleh kita dan Negara. Justeru kita dan Negara telah mengambil banyak manfaat dari semangat TKI.
Saya ingin bandingkan antara penempatan TKI keluar negeri dengan fakta-fakta penyimpangan lain yang marak terjadi dalam negeri ini. Apakah Negara lebih diuntungkan dari dampak Mafia hukum, Korupsi, illegal longing, illegal fishing dan perusakan lingkungan yang terjadi begitu sistimatis ?. Tentu dapat kita gambarkan, bukankah ini jauh lebih merusak harga diri dan ancaman masa depan rakyat dan Negara. Sementara, Penempatan TKI ke luar Negeri lebih memberi efek positif dibanding buruknya. Dan bisa saya katakan, tidak sedikit rakyat menjadi TKI karena korban dari penyimpangan sistimatis di atas.
Untuk Negara saat ini, persoalan perlindungan dan kualitas TKI menjadi PR penting untuk diselesaikan. Solusi perlindungan harus ditempuh dengan langkah diplomatic yang optimal dengan Negara penempatan yang lebih mengacu pada nilai-nikai kemanusiaan dengan merujuk hukum migrant internasional. Dan pihak-pihak lain supaya lebih arif mendudukan persoalan sehingga tidak sekedar bisa memberi hujatan jika TKI menghadapi masalah karena persoalan TKI adalah persoalan Negara yang juga menjadi persoalan kita semua.*****

Senin, 15 November 2010

Jangan Salahkan Gayus

Jangan Salahkan Gayus

Perjalanan panjang upaya mewujudkan Kepolisian profesional dan mandiri yang dimulai sebelum reformasi digulirkan, ternyata belum mampu merubah karakter buruk anggota kepolisian kita. Persoalan yang terus menguak atas bobroknya mental anggota kepolisian akhir-akhir ini sebenarnya tidak perlu dikagetkan banyak pihak.

Kebobrokan kerja kepolisian itu sendiri sebenarnya telah menjadi tradisi panjang kerja kepolisian yang memang selama itupun tertutup rapat.

Semua pihak pantas bersyukur dengan kebebasan informasi yang berkembang pesat, sehingga ada jaminan transparansi oleh lembaga atau pejabat publik untuk mudah dilihat masyarakat. Namun disini ( Kepolisian ) masih menunjukan egoitiemenya sehingga apa yg disebut era kebebasan dianggap bisa disiasati oleh pengalaman yg mereka miliki

Praktek - praktek yang sering menyimpang dari tugas dan kewenangan anggota kepolisian dalam penegakan hukum tidak sejalan dengan semangat institusinya sendiri. Tidak sedikit kita temukan bahwa anggota polisi dari yang berpangkat rendah hingga berbintang secara sadar merusak citra institusinya.

Kali ini kita harus memuji Gayus Tambunan..!. terlepas motifasinya hanya ingin menghirup udara segar atau sekedar ingin menonton tenis di bali. Tidak bisa kita salahkan gayus karena bisa keluar tahanan super ketat. Namun secara sadar bahwa Gayus telah sukses untuk kesekian kalinya merobek sikap disiplin dan egoisme kepolisian. Anggota kepolisian bukan tidak bisa disiplin sebagai aparat penegak hukum.., namun mereka cenderung tidak mau memahami tugas dan kewenangannya.

Karena itu, selama kepolisian kita belum mau memahami diri dan posisi institusinya dgn benar, maka akan sulit bagi rakyat untuk mempercayai kinerja Kepolisian. Mau tidak mau dan harus disadari bahwa bobroknya institusi Kepolisian kita sesungguhnya dirusak dari dalam anggotanya sendiri.

Tentu kita tidak percaya keluarnya Gayus dengan mudah dari tahanan pasukan inti kepolisian ( Brimob ) hanya menyalahkan seorang berpengkat Kompol, namun kita lebih meyakini ada keterlibatan jenderal didalamnya. Gayus hanyalah seorang tersangka yang ditahan boleh -boleh saja menggunakan segala cara untuk bisa menghirup udara bebas atau ingin nonton tenis di Bali.

Kemudahan Gayus menikmati udara bebas inilah yang patut kita pertanyakan. Jadi kita jangan dulu menyalahkan Gayus. Disini jelas sekali kita melihat bahwa Gayus telah memiliki hubungan tertentu dan cukup luas dengan jajaran Mabes Polri. Dengan posisi ini, kemungkinan bahwa Gayus selama menjalani proses hukum mafia pajak telah melakukan banyak konspirasi dengan sejumlah jenderal lain.

Karena itu, Gayus disatu sisi bisa menjadi ancaman dan disisi lain Gayus harus dimanjakan. Timbal-balik untuk saling menyenangkan ini bukan karena tidak ada sebab akibatnya. Inilah yang dimaksud indikasi terjadi konspirasi besar dalam kasus mafia pajak yang melibatkan banyak pihak dilembaga hukum kita.

Melihat apa yang sedang terjadi pada jajaran Mabes Polri sekarang ini, nampaknya Mabes Polri berusaha memilih untuk saling menutupi dan melindungi citra pribadi-pribadi jajaran internalnya dari pada melihat dan mementingan institusinya. Jika kasus ini pun tidak dibuka secara transparan untuk di usut, maka habislah cita-cita reformasi kepolisian yg telah dirancang dan diperjuangkan oleh pendahulu-pendahulu mereka. Kalau begini adanya, maka reformasi Polri tahap ke II memang pantas untuk dilakukan****