Membicarakan Tenaga Kerja Indonesia (
TKI ) Pembantu Rumah Tangga di Timur
Tengah tidak pernah habis. Sejak munculnya di era tahun 1980 ( bukan TKI era
jajahan ), lahirnya UU No 39 tahun 2004, terjadinya penyiksaan,
Moratorium hingga adanya hukuman
pancung terhadap TKI , mata hati dan
telinga kita tersentak. TKI memang
memiliki dinamika problematic yang amat menarik dalam sejarah panjang
perjalananya.
Akhir-akhir ini Dinamika itu kembali
muncul. Tampa diduga hanya dalam dua hari pasca demo besar Aliansi Tenaga Kerja
Indonesia Menggugat (ATKIM ) didepan Istana dan DPR RI ( 7/4 2015 ) lalu, yang sempat mengagetkan
media dari tidur panjang berita
TKI, tiba-tiba ibarat gayung bersambut,
muncul berita dua TKI ( PRT ) Siti Zaenab dan Karni Madi dihukum pancung di
Arab Saudi. Kondisi yang menambah aktualisasi pemberitaan TKI.
Sayangnya, berita-berita media dari sumber yang cenderung menekan pemerintah Jokowi, Depnaker, Deplu dan BNP2TKI ini berusaha menggiring pemerintah untuk keluar dari substansi Hak Kerja dan Hak Hidup warga Negara. Dimana Pemerintah dipaksa menghentikan penempatan TKI PRT ke Timur Tengah, Arab Saudi dll hanya dengan alasan demi martabat bangsa.
Tuntutan yang irasional dari fakta ‘ kemiskinan ‘ sebagian rakyat yang menuntut Hak Kerja dan Hak Hidup layak yang dijamin konstitusi ( UUD45 ). Sementara kita sadar, tutup mata dengan hilangnya hak Kerja mereka CTKI ditengah ketidaktersediaan lapangan kerja dan upah rendah dalam Negeri sendiri.
Sayangnya, berita-berita media dari sumber yang cenderung menekan pemerintah Jokowi, Depnaker, Deplu dan BNP2TKI ini berusaha menggiring pemerintah untuk keluar dari substansi Hak Kerja dan Hak Hidup warga Negara. Dimana Pemerintah dipaksa menghentikan penempatan TKI PRT ke Timur Tengah, Arab Saudi dll hanya dengan alasan demi martabat bangsa.
Tuntutan yang irasional dari fakta ‘ kemiskinan ‘ sebagian rakyat yang menuntut Hak Kerja dan Hak Hidup layak yang dijamin konstitusi ( UUD45 ). Sementara kita sadar, tutup mata dengan hilangnya hak Kerja mereka CTKI ditengah ketidaktersediaan lapangan kerja dan upah rendah dalam Negeri sendiri.
Pekerjaan apa dengan gaji berapa bagi
mereka yang hanya bisa bekerja di rumah
tangga untuk menjamin harapan hidup dan harapan cita-cita
anak dan keluarga mereka?, Inilah pertanyaan paling mendasar supaya mereka bisa hidup lebih layak dan bermartabat.
Menjadi semakin ironis ketika
fakta-fakta sukses TKI bisa kerja diluar
negeri, lebih cerdas karena bisa beragam bahasa adalah prestasi. Kisah TKI sukses menjadi
pengusaha mobil, Mini Market dll
terpampang luas, bahkan Menteri Tenaga Kerja
sekarang M Hanif Dhakiri
sukses tidak lepas dari hasil ibunya menjadi TKI. Lalu kenapa dipelintir dalam pemikiran HAM yang
menjadi acuan pemerintah bahwa TKI PRT
di Negara Arab itu membuat Bangsa tidak bermartabat. Pertanyaannya?, Siapa yang merendahkan
martabat TKI ?, Pemerintah, LSM.
Pengakuan Ijah mantan TKI Arab Saudi
mengatakan, pasca Moratorium Pernah
bekerja sebagai PRT di Garut, cuma digaji
Rp. 300.000,- di pabrik digaji Rp. 1.400.000,- Tidak cukup katanya. Karena itu, dia ngotot ingin kembali mau
bekerja sebagai PRT di Arab Saudi.
Sementara Isnawati mengaku pernah kerja
sebagai PRT di Taiwan dan Malaysia, bekerja sebagai PRT selama tiga tahun merasa tidak nyaman dan tertekan. Alasannya, selama
itu harus berhadapan dengan pekerjaan ( maaf ) memasak babi dan kehilangan waktu beribadah sebagai
muslim. Isnawati mengaku harus mengikuti majikannya sembahyang menyembah patung di Taiwan. Bekerja di Arab saya bisa hidup layak mencukupi kebutuhan, bisa beribadah dan
bermartabat. Didalam Negeri penyiksaan dan
pembunuhan terhadap PRT tidak kalah sadis, dimana martabatnya?, keluh Ismawati.
Diera Kemanaker dipimpin Sudomo,
dihadapan anggota Dewan terucap akan menghentikan pengiriman 64.000 TKI. Serendak disambut gembira oleh
dewan. Tapi ketika Sudomo minta supaya anggota Dewan membuka lapangan kerja
dengan upah layak bagi TKI supaya bermartabat , semua bungkam. “ Biarkan kita
menjadi Negara ekspor pembantu, inilah konsekuensi “, kata Sudomo
Dalam berbagai tulisan, seseorang bisa bermartabat ditentukan diantaranya oleh ‘ kecerdasan dan kesejahteraan ‘. Lalu bagimana seseorang bisa bermartabat kalau tidak memiliki pengalaman kecerdasan dan bekerja. Artinya menjadi TKI dengan sendirinya telah berusaha untuk mencerdaskan diri dan bekerja untuk bisa bermartabat. Persolannya disini pemerintah telah salah kaprah. TKI diposisikan sebagai ‘ pembantu ‘ bukan sebagai pekerja terhormat dan bermartabat. Pemerintah masih dalam pikiran pecik, terkungkung dalam makna klasik social domestic, dimana TKI adalah pembantu rendahan atau babu ( zaman belanda ) yang bisanya hanya pembersih sisa-sisa kerja majikan.
Dalam berbagai tulisan, seseorang bisa bermartabat ditentukan diantaranya oleh ‘ kecerdasan dan kesejahteraan ‘. Lalu bagimana seseorang bisa bermartabat kalau tidak memiliki pengalaman kecerdasan dan bekerja. Artinya menjadi TKI dengan sendirinya telah berusaha untuk mencerdaskan diri dan bekerja untuk bisa bermartabat. Persolannya disini pemerintah telah salah kaprah. TKI diposisikan sebagai ‘ pembantu ‘ bukan sebagai pekerja terhormat dan bermartabat. Pemerintah masih dalam pikiran pecik, terkungkung dalam makna klasik social domestic, dimana TKI adalah pembantu rendahan atau babu ( zaman belanda ) yang bisanya hanya pembersih sisa-sisa kerja majikan.
Penting dibayangkan, bagaimana TKI diujung
desa pendidikan Cuma SLTP tiba-tina menyalip
para sarjana dalam negeri meleset jauh terbang lintas Negara untuk diterima mengurusi kebutuhan
pengguna ( majikan ), mulai dari
memasak , menyajikan makanan , urus anak
hingga merapikan pakain. Dan rata2 bisa
menggunakan alat teknologi, tanpa
melihat catatan criminal ( criminal screening )misalnya.
TKI tiba-tiba menjadi bagian dalam rumahtangga yang dipercaya penuh ibarat seorang manager dalam rumah pengguna. Bukankah ini sebuah prestasi untuk dibanggakan?, bukankah ini sebuah Martabat bagi rakyat miskin?. Bandingkan dengan pejabat dalam negeri yang sewaktu-waktu bisa korupsi. Sehingga terus dicurigai dan diawasi.
TKI tiba-tiba menjadi bagian dalam rumahtangga yang dipercaya penuh ibarat seorang manager dalam rumah pengguna. Bukankah ini sebuah prestasi untuk dibanggakan?, bukankah ini sebuah Martabat bagi rakyat miskin?. Bandingkan dengan pejabat dalam negeri yang sewaktu-waktu bisa korupsi. Sehingga terus dicurigai dan diawasi.
Terlepas persoalan hukum yang terjadi
sebagai konsekuensi resiko kerja, sesungguhnya perlindungan menjadi tolak ukur kepedulian pemerintah terhadap TKI. Disini harus diakui pemerintah gagal dalam
memberi perlindungan WNI (TKI ), bahkan PRT domistik saja kondisinya jauh lebih
parah karena tidak dijamin adanya UU yang jelas.
Tetapi TKI Sejak UU No 39 tahun 2004 setelah sekian
lama diluncurkan dan dilengkapi dengan
sejumlah Permen dan Kepmen, puluhan
tahun hasilnya nihil. Tidak ada hasil
yang dicapai baik regulasi maupun teknis
terhadap upaya peningkatan perlindungan
maupun meningkatkan kualitas TKI. Ujung-ujungnya pemerintah mengikuti pendapat mengkambing hitamkan pelaku
penempatan.
Semestinya pemerintah bisa lebih bijaksana melihat kesungguhnya TKI menunjukan semangat besar mencari kehidupan yang lebih layak. Dimana TKI dipercaya dan bermartabat dimata masyarakat Negara lain. Tidaklah elok bila masyarakat Negara lain lebih berani dan percaya mengangkat harkat dan martabat rakyat miskin kita.
Semestinya pemerintah bisa lebih bijaksana melihat kesungguhnya TKI menunjukan semangat besar mencari kehidupan yang lebih layak. Dimana TKI dipercaya dan bermartabat dimata masyarakat Negara lain. Tidaklah elok bila masyarakat Negara lain lebih berani dan percaya mengangkat harkat dan martabat rakyat miskin kita.
Sementara di atas segala keuntungan Negara dengan
adanya TKI, pemerintah bersikap munafik
tanpa malu harus menutup Hak Kerja dan Hak Hidup warga Negara yang
menjadi TKI. Padahal fakta pemerintah gagal, tidak mampu berbuat apa-apa
untuk meningkatkan perlindungan dan
meningkatkan kualitas TKI.
Penghentian penempatan TKI tanpa solusi menyiapkan lapangan kerja dan upah layak adalah pelanggaran berat konstitusi. Disini tugas pemerintah bukan menutup penempatan TKI, namun harus menjalankan pesan konstitusi meningkatkan perlindungan dan kualitas TKI untuk menempatkan posisi TKI sebagai profesi kerja dengan mengacu konvensi ILO 189. Tidak hanya berkelit dengan beragam alasan martabat sehingga terlihat munafik. ***
Umar Ali MS,
Direktur Kebijakan Publik ATKIM.
Penghentian penempatan TKI tanpa solusi menyiapkan lapangan kerja dan upah layak adalah pelanggaran berat konstitusi. Disini tugas pemerintah bukan menutup penempatan TKI, namun harus menjalankan pesan konstitusi meningkatkan perlindungan dan kualitas TKI untuk menempatkan posisi TKI sebagai profesi kerja dengan mengacu konvensi ILO 189. Tidak hanya berkelit dengan beragam alasan martabat sehingga terlihat munafik. ***
Umar Ali MS,
Direktur Kebijakan Publik ATKIM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar