Jumat, 15 Januari 2010

pansus century kalah telak

PANSUS CENTURY KALAH TELAK

Dirubrik ini, tanggal 22 Desember 2009 lalu saya katakan bahwa kerja Pansus Angket Scandal Century tidak bisa optimal. Sejak pertama kali dipanggilnya sejumlah pihak terkait untuk dimintai keterangan sampai panggilan kedua terhadap Pak Boediono serta kepada Ibu Sri Mulyani Rabu ( 13/1 ) jawabannya selalu mementahkan pertanyaan panitia angket.

Cukup jelas bagi kita, baik pak Boediono maupun Ibu Sri Mulyani memberi jawaban yang hampir sama bahwa " Bailout ke Bank Century merupakan sikap yang tepat untuk menghindari dampak buruk sistemik perbankan indonesia dari krisis global. Dan fakta membuktikan dimana indonesia terhindar dari krisis ekonomi global dan tidak merugikan negara".

Kiranya Pansus Angket Century kehilangan akal, ternyata tidak mudah mengalahkan para punggawa ekonomi dan perbankan sekelas Pak Boediono dan Ibu Sri Mulyani dengan pola sekedar banyak bertanya tapi tidak berkualitas. Jika kita simak tanya jawab rabu pagi ( 13/1 ) antara Pansus dengan Ibu Sri Mulyani, terlihat jelas Ibu Sri Mulyani menguasai segalanya, baik situasi, kualitas maupun emosi. Artinya Ibu Sri Mulyani unggul total.

Kita jangan dulu terkesimak atau berharap banyak terhadap Pansus yang memperlihatkan sikap ngotot dan kadang terjadi debat sesama Pansusnya. Hal ini sudah biasa dalam konteks Pansus sebagai DPR adalah wakil rakyat. Sementara kita lupa dengan permainan bahwa scandal Century sedang di ayun sambil menunggu runtuhnya kepedulian masyarakat karena terlampau jenuh.

Sejak awal, dari rentetan upaya Pansus Angket ingin membongkar Scandal Century tidak akan optimal sebenarnya sudah dapat ditebak, hal itu ditandai oleh peristiwa seperti, adanya konflik kepentingan internal Pansus dan lahirnya keseragaman dari pihak yang dimintai keterangan dalam memberi jawaban berbelit-belit dan berbeda-beda, serta belakangan justeru terjadi penggantian mendadak beberapa anggota Pansus oleh fraksi PKB dan PAN.

Adalah bukti, dari semua kompleksitas yang terjadi dalam upaya Pansus Angket membongkar Scandal Century mukanlah hal yang mudah. Polemik sudah terjadi dan akan terus berjalan. Polemik ini tidak saja memanas di internal Pansus dan DPR, tetapi di masyarakat luas juga berkembang polemik dengan Dua pertanyaan. Apakah betul Pansus bekerja untuk mencari kepastian hukum atau bekerja hanya karena dirangsang oleh kepentingan politik ?. Pertanyaan yang sangat jelas tetapi jawabannya belum jelas, kita harus menunggu.

Apapun itu yang terjadi di Pansus, bagi saya tetap pada pendapat awal bahwa,

  1. untuk menunjukan tanggungjawab, Pansus akan tetap bekerja sesuai hukum tetapi sifatnya normative saja.
  2. Pansus pasti menjalankan aksi negosiasi yang berakhir dengan pembenaran bailout ke Bank century. Dan-
  3. Berdasarkan tradisi, biasanya setiap ada polemik atau kasus yang melibatkan pejabat tinggi Negara dan Pemerintah, pasti diakhiri dengan mencari Kambing Hitam sebagai tumbal. Hal ini memang menjadi senjata ampuh yang selalu sukses untuk meredam emosi masyarakat. ****





    UMAR ALI MS



http://saherangga.blogspot.com/

Senin, 11 Januari 2010

Betulkah Susno Membakar Wajah Mabes Polri

Mabes Polri sedang kepanasan. Suhu disana dalam Dua hari terakhir sudah mencapai 48o C, suhu ini membawa kepanikan dan membakar tidak saja wajah Kapolri tetapi wajah Jenderal lainpun ikut terbakar.

Orang yang membakar wajah Jenderal Mabes Polri ini adalah seorang bernama Komjen Susno Duadji yang berasal dari jajaran jenderal Mabes Polri sendiri. Jenderal yang pernah dilantik menjadi Kabareskrim Maber Polri pada tanggal 10 Oktober 2008 ini menjadi sangat popular ketika ada kasus Antasari Azhar, KPK dan Scandal Centuri. Dari morat marutnya kasus diatas, pada Tanggal 24 November 2009 Kapolri mencopot Komjen Susno Duadji dari jabatan Kabareskrim menjadi Pati Non Job di Mabes Polri.

Belakangan ini Susno kembali menjadi sorotan Media lantaran hadir sebagai saksi dalam sidang perkara pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen di PN Jakarta Selatan, kamis ( 7/1 ). Susno Duadji menjadi saksi “a de charge ( meringankan )” bagi terdakwa mantan Ketua KPK Antasari Azhar.

Disini Susno bernyanyi banyak, mulai proses penyelidikan sampai dengan penyidikan baik oleh Polda Metro maupun Mabes Polri dinyanyikan dengan irama santai tapi tegas. Nyanyian ini ternyata mencengankan para Hakim dan semua peserta sidang, karena Susno bernyanyi membuka aib, seakan-akan ada konspirasi kepentingan oleh Mabes Polri sehingga Antasari Azhar menjadi terdakwa.

Sebenarnya kesaksian Susno Duadji tidak terlalu subtansial, tapi menjadi bara ketika disikapi berlebihan oleh Kapolri dan para jenderal lain. Hemat saya, sikap Kapolri justru semakin menunjukan kepada public bahwa Polri masih mempertahankan tradisi yang justru tidak dikenal dalam masyarakat profesi. Dilain pihak kondisi ini bisa semakin membentuk keyakinan hakim pada posisi yang menguntungkan Antasari Azhar.

Semestinya, Kapolri tidak perlu menanggapi kehadiran dan kesaksian Komjen Susno Duadji di PN Jakrta Selatan. Sebab, reformasi sudah terbuka lebar. Artinya, hak setiap warga Negara terutama para penegak hukum wajib memberi keterangan yang benar dalam kesaksiannya untuk kepastian hukum. Kita tidak boleh membatasi setiap usaha orang lain yang akan berbuat baik dan benar.

Tetapi bara panas sudah bergulir, Kapolri terlanjur mengetuk palu memberi tugas kepada Tiga punggawa tinggi Mabes Polri yaitu, Inspektur Pengawasan Umum ( Irwasum ) Irjen Pol Nanan Soekarna, Kepala Devisi Profesi dan Pengamanan Irjen Pol Oegroseno, dan Kepala Devisi Hukum Polri Irjen Pol Budi Gunawan, dan dibawah pengawasan langsung Wakapolri Komjen Yusuf Manggabarani untuk memeriksa Komjen Susno Duadji.

Adalah tradisi, Polri secara umum menggunakan Dua substansi peraturan untuk menghukum jajarannya yaitu, Disiplin Anggota Polri dan Etika Profesi Polri. Sepertinya, Dua peraturan ini akan menjerat Susno Duadji. Tentu ini mengecewakan karena sikap Susno bukanlah substansi yang harus dijerat dengan peraturan kuno dalam pandangan logika reformis.

Melihat kondisi ini, sebaiknya Kapolri kembali berpikir, bahwa suhu panas yang terjadi dalam internal Mabes Polri tidak saja memberi citra buruk bagi Mabes Polri tetapi suhu panas ini telah membakar wajah Maber Polri. Sekarang masyarakat bertanya, “ siapa sebenarnya yang membakar Mabes Polri dan Jenderalnya, betulkah Komjen Susno Duadji atau Kapolri ?. Walla huallam, biarkan rakyat yang menjawab.*** *



UMAR ALI MS
KA. UMUM PERHIMPUNAN RAKYAT NUSANTARA
HP. 08176787087

2009 Waktu Sumpah Terbanyak Pejabat Era Reformasi.

Beberapa waktu lalu sejak Bulan Agustus sampai memasuki akhir Tahun 2009, kita menyaksikan banyak Pejabat Negara bersumpah. Sumpah yang dimaknai sebagai bentuk pembelaan diri dari tuduhan adanya penyelewengan jabatan terkait sejumlah kasus seprti.KPK, Scandal Century dll.

Saat itu bertubu-tubi sumpah berdatangan dari pejabat tinggi Negara, jenderal polisi bahkan Presiden dan Wapres ikut bersumpah tidak bersalah. Hemat saya, sumpah ini merupakan kejadian langka dan menggelitik terbanyak di Tahun 2009 oleh pejabat Negara era reformasi yang disiarkan televisi dan disaksikan Ratusan Juta rakyat Indonesia dan dunia.

Lebih jauh lagi, sumpah Pejabat Negara yang kita saksikan memberi gambaran bahwa, sumpah yang lebih sakrar ketika menerima jabatan dilanggar secara total. Artinya, eksistensi diri sebagai pejabat yang disumpah supaya mengimplementasikan rasa tanggungjawab pada tugas dengan moralitas dan jujur demi kepentingan Negara dan rakyat menjadi tidak berarti. Bahkan, kesan yang muncul dari aksi sumpah ini cenderung memberi jawaban bahwa sumpah ketika menerima jabatan dan akan melaksanakan tugas adalah sikap kebohongan dan kepura-puraan yang menunjukan rusaknya eksistensi diri dan berdampak pada rusaknya eksistensi kemanusiaan secara menyeluruh.

Ketika dilantik, para pejabat negara, pejabat pemerintah, pegawai negeri sipil
(PNS), para profesional, dan lain sebagainya, biasanya terlebih dahulu diambil
sumpah atau janjinya di bawah persaksian kitab suci sesuai agama masing-masing. . Intinya adalah ikrar
kesetiaan, komitmen, dan kesanggupan- -atas nama Tuhan--bahwa jabatan yang
dipangkunya tidak akan disia-siakan, tetapi dilaksanakan secara sungguh-sungguh
dan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, diharapkan potensi penyimpangan dan
penyelewengan jabatan dapat dikontrol, bahkan ditekan, dari dalam karena ikatan
sumpah yang pernah diucapkannya.

Adalah Pythagoras orang yang pertama kali menggagas dan mempraktikkan sumpah
jabatan ini. Pada waktu itu dia meminta kepada seluruh calon politikus dan
ilmuwan bersedia diambil sumpahnya supaya menjalankan jabatan yang disandangnya
secara benar. Semangat yang dibangun di dalamnya adalah menjaga moralitas
jabatan, yaitu pengabdian dan pelayanan. Sumpah jabatan ini kemudian
dipraktikkan dari zaman ke zaman--sampai sekarang--dengan semangat yang kurang
lebih sama, yaitu menyatakan kesanggupan untuk tidak mementingkan diri sendiri,
tetapi mengabdi kepada kepentingan dan kebaikan masyarakat luas.

Bagi para pejabat negara, pegawai negeri, profesional, dan lain sebagainya,
sumpah jabatan memang sebuah keharusan. Pasalnya, dengan ilmu dan keahliannya,
mereka menjadi memiliki hak dan kewajiban yang tidak dipunyai oleh warga negara
biasa, atau setidaknya mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga
negara biasa, tetapi dalam taraf yang berbeda.

Penyalahgunaan jabatan yang tidak kalah bahayanya lagi adalah yang dilakukan
oleh para penyelenggara negara, baik yang duduk di legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif. Masalahnya mereka dapat menggunakan fasilitas negara atas nama
kepentingan publik meskipun sebenarnya untuk kepentingan pribadi maupun kroni.

Di Indonesia, sumpah jabatan sudah menjadi bagian acara wajib dalam sebuah
seremoni pelantikan jabatan. Kehadirannya pun sakral karena di dalamnya
mengandung unsur religiusitas. Hal ini dapat dilihat dari teks yang harus
dilafalkan, yaitu diawali dengan berjanji kepada Tuhan Yang Maha Esa, "Demi
Allah, saya bersumpah/berjanji bahwa saya,?" Di sinilah sumpah menjadi raison
d`etre 'pewahyuan' jabatan yang menuntut agar dijalankan secara benar dan penuh
tanggung jawab. Oleh sebab itu, penting--sebelum pelantikan
dilaksanakan- -terlebih dahulu dihadirkan para rohaniwan masing-masing agama guna
menjelaskan arti, makna, dan konsekuensi sumpah jabatan itu sendiri.

Ada dua kemungkinan utama yang menyebabkan sumpah jabatan tidak memberikan
dampak signifikan. Pertama, adalah karena pribadi yang bermasalah. Yaitu
kepribadian yang rakus, serakah, tidak taat pada asas, dan sifat-sifat ataupun
perilaku negatif lainnya. Yang demikian ini adalah cermin buruk serta rendahnya
kadar moralitas. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa moralitas rendahan tidak
dapat mengantarakan pada pencapaian cita-cita ataupun tujuan, baik tujuan
negara, organisasi, perusahaan, dan lain sebagainya.

Problemnya adalah ada gejala yang mengisyaratkan bahwa moralitas rendahan itu
kurang--bahkan tidak lagi--dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Barangkali,
inilah zaman yang oleh Ronggo Warsito disebut zaman edan. Yaitu, sebuah zaman di
mana orang-orangnya tidak lagi mengagungkan nilai-nilai luhur demi sebuah
pencapaian tujuan. Kedua, sistem tata kehidupan berbangsa dan bernegara tidak
mendukung. Karena itu, dibutuhkan penyehatan secara komprehensif di berbagai
dimensi kehidupan (sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, maupun sektor-sektor
yang lain). Khusus untuk pegawai negeri sipil, ketentuan konduite perlu
diterapkan secara jujur dan tepat sebagai dasar pembinaan karier berlandaskan
sistem merit.

Penetapan kinerja

Kunci komitmen pada sumpah jabatan adalah disiplin. Masalahnya, disiplin bukan
merupakan produk instan, tetapi hasil dari sebuah upaya yang panjang. Oleh sebab
itu, perlu dilahirkan kerja-kerja yang mendukungnya. Salah satunya adalah dengan
penetapan kinerja. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan sumber daya, intensifikasi pencegahan korupsi, peningkatan kualitas
pelayanan publik, percepatan untuk mewujudkan manajemen pemerintahan yang
efektif, transparan, dan akuntabel.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi waktu itu, telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 31 M /PAN/12/2004- -sebagai
tindak lanjut Inpres Nomor 5 Tahun 2004--yang ditujukan kepada para menteri,
Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, para Kepala LPND, sekjen lembaga tinggi
negara, para gubernur, dan para bupati/wali kota. Meminta agar
setiap instansi segera menyusun dan menetapkan rencana kinerja yang akan dicapai secara berjenjang sesuai dengan
kedudukan, tugas, fungsi, dan kebutuhan instansi serta unit organisasi
masing-masing. Dengan demikian, diharapkan program-program kegiatan menjadi
rasional, proporsional, transparan, dan dapat dipertanggungjawabk an,
sehingga--pada akhirnya--mau tidak mau seorang pejabat harus amanah terhadap
jabatan dan komitmen terhadap sumpah yang diucapkan.

Jika melihat fenomena diatas dan aksi sumpah pejabat Negara yang terjadi, kiranya ikrar sumpah yang diucapkan bagi pejabat Negara ketika dilantik menjadi sangat tidak efektif. Saat ini jelas kita tidak lagi bisa percaya dengan tradisi sumpat jabatan yang ada, maka perlu formula lain yang lebih konyol misalnya, hukum formalnya dibuatkan UU tembak mati dan hukum nonformalnya adakan sumpah pocong atau foto keluarga besar pejabat Negara yang menyalahgunakan jabatan disebar secara nasional. Hal ini perlu dicoba, mungkin saja bisa meredam hasrat serakah pejabat dan sekaligus bisa memberi kepercayaan dan rasa lega bagi rakyat.****


UMAR ALI MS
KA. UMUM PERHIMPUNAN RAKYAT NUSANTARA
HP. 08176787087

Pansus Angket Scandal Century Mulai Lumpuh

Beberapa hari lalu, Pansus Hak Angket Century sepakat mengusulkan Wapres Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk dinonaktifkan dari jabatan masing masing supaya mempermudah untuk dimintai keterangan. Dua Pejabat Tinggi Negara ini merupakan saksi kunci terkait scandal Bank Century yang meraup uang Negara sebesar 6, 7 Triliun.

Alhasil, usulan Panitia Angket menimbulkan Pro Kontra dan berakhir bahwa Dua pejabat tersebut tetap kokoh pada jabatannya. Hal ini bukan saja karena ditolak oleh Presiden dengan alasan kontitusi, tapi juga muncul dukungan kelompok lain.

Semangat Anggota Angket Century untuk membongkar Scandal Century, sejumlah pihak lain yang berkompeten terkait seperti, Miranda Gultom, Anwar Nasution dll juga telah dimintai keterangan dan memberi keterangan yang berbeda. Perbedaan keterangan semakin tajam dan jauh dari harapan ketika Pak Boediono dan Ibu Sri Mulyani dipanggil.

Sepertinya Pansus Angket Century mulai kebingungan menghadapai sejumlah keterangan yang berbeda. Disatu sisi Pansus Angket Century terus mendapat tekanan masyarakat tampa pawer dan disisi lainnya kehilangan akal menghadapi para punggawa perbankan yang sangat berkualitas dengan pawer penuh.

Belakangan kita juga mencuim adanya beda pendapat dan ketidakpuasan terjadi dalam internal Panitia Angket. Hal ini menandai bahwa Pansus Angket Century mulai lumpuh.

Kondisi ini memaksa Pansus Century akan mengambil beberapa langkah strategis yang diprediksikan sebagai berikut.

  1. Pansus Angket Century tidak mau kehilangan muka untuk keduakali dari gagalnya usulan menonaktifkan Wapres dan Menkeu. Maka menuntaskan scandal Century akan tetap dijalankan secara normatif melalui proses hukum
  2. Pansus Angket Century akan mengambil langkah negosiasi yang berakhir dengan pembenaran dan menyetujui bailout ke Bank Century.

Jika hal ini benar terjadi, maka penegakan hukum dan punahnya korupsi semakin jauh dari harapan. Kekuatiran terbesar saya dari scandal Century bahwa Pansus Angket Century yang telah menguasai masalah akan mengambil pembelajaran atau mengajak pihak lain untuk melakukan hal yang sama pada lain waktu.

Semestinya, scandal Century dijadikan awal atau target yang tepat oleh Pansus Angket Century bukan saja untuk mengembalikan citra DPR RI yang lagi buruk tapi menjadi awal yang tepat dimulainya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi yang selama ini didominasi oleh pejabat tinggi Negara baik Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif.



UMAR ALI MS
KA. UMUM PERHIMPUNAN RAKYAT NUSANTARA
HP. 08176787087