Senin, 11 Januari 2010

2009 Waktu Sumpah Terbanyak Pejabat Era Reformasi.

Beberapa waktu lalu sejak Bulan Agustus sampai memasuki akhir Tahun 2009, kita menyaksikan banyak Pejabat Negara bersumpah. Sumpah yang dimaknai sebagai bentuk pembelaan diri dari tuduhan adanya penyelewengan jabatan terkait sejumlah kasus seprti.KPK, Scandal Century dll.

Saat itu bertubu-tubi sumpah berdatangan dari pejabat tinggi Negara, jenderal polisi bahkan Presiden dan Wapres ikut bersumpah tidak bersalah. Hemat saya, sumpah ini merupakan kejadian langka dan menggelitik terbanyak di Tahun 2009 oleh pejabat Negara era reformasi yang disiarkan televisi dan disaksikan Ratusan Juta rakyat Indonesia dan dunia.

Lebih jauh lagi, sumpah Pejabat Negara yang kita saksikan memberi gambaran bahwa, sumpah yang lebih sakrar ketika menerima jabatan dilanggar secara total. Artinya, eksistensi diri sebagai pejabat yang disumpah supaya mengimplementasikan rasa tanggungjawab pada tugas dengan moralitas dan jujur demi kepentingan Negara dan rakyat menjadi tidak berarti. Bahkan, kesan yang muncul dari aksi sumpah ini cenderung memberi jawaban bahwa sumpah ketika menerima jabatan dan akan melaksanakan tugas adalah sikap kebohongan dan kepura-puraan yang menunjukan rusaknya eksistensi diri dan berdampak pada rusaknya eksistensi kemanusiaan secara menyeluruh.

Ketika dilantik, para pejabat negara, pejabat pemerintah, pegawai negeri sipil
(PNS), para profesional, dan lain sebagainya, biasanya terlebih dahulu diambil
sumpah atau janjinya di bawah persaksian kitab suci sesuai agama masing-masing. . Intinya adalah ikrar
kesetiaan, komitmen, dan kesanggupan- -atas nama Tuhan--bahwa jabatan yang
dipangkunya tidak akan disia-siakan, tetapi dilaksanakan secara sungguh-sungguh
dan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, diharapkan potensi penyimpangan dan
penyelewengan jabatan dapat dikontrol, bahkan ditekan, dari dalam karena ikatan
sumpah yang pernah diucapkannya.

Adalah Pythagoras orang yang pertama kali menggagas dan mempraktikkan sumpah
jabatan ini. Pada waktu itu dia meminta kepada seluruh calon politikus dan
ilmuwan bersedia diambil sumpahnya supaya menjalankan jabatan yang disandangnya
secara benar. Semangat yang dibangun di dalamnya adalah menjaga moralitas
jabatan, yaitu pengabdian dan pelayanan. Sumpah jabatan ini kemudian
dipraktikkan dari zaman ke zaman--sampai sekarang--dengan semangat yang kurang
lebih sama, yaitu menyatakan kesanggupan untuk tidak mementingkan diri sendiri,
tetapi mengabdi kepada kepentingan dan kebaikan masyarakat luas.

Bagi para pejabat negara, pegawai negeri, profesional, dan lain sebagainya,
sumpah jabatan memang sebuah keharusan. Pasalnya, dengan ilmu dan keahliannya,
mereka menjadi memiliki hak dan kewajiban yang tidak dipunyai oleh warga negara
biasa, atau setidaknya mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga
negara biasa, tetapi dalam taraf yang berbeda.

Penyalahgunaan jabatan yang tidak kalah bahayanya lagi adalah yang dilakukan
oleh para penyelenggara negara, baik yang duduk di legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif. Masalahnya mereka dapat menggunakan fasilitas negara atas nama
kepentingan publik meskipun sebenarnya untuk kepentingan pribadi maupun kroni.

Di Indonesia, sumpah jabatan sudah menjadi bagian acara wajib dalam sebuah
seremoni pelantikan jabatan. Kehadirannya pun sakral karena di dalamnya
mengandung unsur religiusitas. Hal ini dapat dilihat dari teks yang harus
dilafalkan, yaitu diawali dengan berjanji kepada Tuhan Yang Maha Esa, "Demi
Allah, saya bersumpah/berjanji bahwa saya,?" Di sinilah sumpah menjadi raison
d`etre 'pewahyuan' jabatan yang menuntut agar dijalankan secara benar dan penuh
tanggung jawab. Oleh sebab itu, penting--sebelum pelantikan
dilaksanakan- -terlebih dahulu dihadirkan para rohaniwan masing-masing agama guna
menjelaskan arti, makna, dan konsekuensi sumpah jabatan itu sendiri.

Ada dua kemungkinan utama yang menyebabkan sumpah jabatan tidak memberikan
dampak signifikan. Pertama, adalah karena pribadi yang bermasalah. Yaitu
kepribadian yang rakus, serakah, tidak taat pada asas, dan sifat-sifat ataupun
perilaku negatif lainnya. Yang demikian ini adalah cermin buruk serta rendahnya
kadar moralitas. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa moralitas rendahan tidak
dapat mengantarakan pada pencapaian cita-cita ataupun tujuan, baik tujuan
negara, organisasi, perusahaan, dan lain sebagainya.

Problemnya adalah ada gejala yang mengisyaratkan bahwa moralitas rendahan itu
kurang--bahkan tidak lagi--dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Barangkali,
inilah zaman yang oleh Ronggo Warsito disebut zaman edan. Yaitu, sebuah zaman di
mana orang-orangnya tidak lagi mengagungkan nilai-nilai luhur demi sebuah
pencapaian tujuan. Kedua, sistem tata kehidupan berbangsa dan bernegara tidak
mendukung. Karena itu, dibutuhkan penyehatan secara komprehensif di berbagai
dimensi kehidupan (sosial, ekonomi, politik, hukum, budaya, maupun sektor-sektor
yang lain). Khusus untuk pegawai negeri sipil, ketentuan konduite perlu
diterapkan secara jujur dan tepat sebagai dasar pembinaan karier berlandaskan
sistem merit.

Penetapan kinerja

Kunci komitmen pada sumpah jabatan adalah disiplin. Masalahnya, disiplin bukan
merupakan produk instan, tetapi hasil dari sebuah upaya yang panjang. Oleh sebab
itu, perlu dilahirkan kerja-kerja yang mendukungnya. Salah satunya adalah dengan
penetapan kinerja. Tujuannya adalah untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan sumber daya, intensifikasi pencegahan korupsi, peningkatan kualitas
pelayanan publik, percepatan untuk mewujudkan manajemen pemerintahan yang
efektif, transparan, dan akuntabel.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufiq Effendi waktu itu, telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 31 M /PAN/12/2004- -sebagai
tindak lanjut Inpres Nomor 5 Tahun 2004--yang ditujukan kepada para menteri,
Jaksa Agung, Panglima TNI, Kapolri, para Kepala LPND, sekjen lembaga tinggi
negara, para gubernur, dan para bupati/wali kota. Meminta agar
setiap instansi segera menyusun dan menetapkan rencana kinerja yang akan dicapai secara berjenjang sesuai dengan
kedudukan, tugas, fungsi, dan kebutuhan instansi serta unit organisasi
masing-masing. Dengan demikian, diharapkan program-program kegiatan menjadi
rasional, proporsional, transparan, dan dapat dipertanggungjawabk an,
sehingga--pada akhirnya--mau tidak mau seorang pejabat harus amanah terhadap
jabatan dan komitmen terhadap sumpah yang diucapkan.

Jika melihat fenomena diatas dan aksi sumpah pejabat Negara yang terjadi, kiranya ikrar sumpah yang diucapkan bagi pejabat Negara ketika dilantik menjadi sangat tidak efektif. Saat ini jelas kita tidak lagi bisa percaya dengan tradisi sumpat jabatan yang ada, maka perlu formula lain yang lebih konyol misalnya, hukum formalnya dibuatkan UU tembak mati dan hukum nonformalnya adakan sumpah pocong atau foto keluarga besar pejabat Negara yang menyalahgunakan jabatan disebar secara nasional. Hal ini perlu dicoba, mungkin saja bisa meredam hasrat serakah pejabat dan sekaligus bisa memberi kepercayaan dan rasa lega bagi rakyat.****


UMAR ALI MS
KA. UMUM PERHIMPUNAN RAKYAT NUSANTARA
HP. 08176787087

Tidak ada komentar: