Selasa, 02 November 2010

Tahun Penuh Gejolak

Tahun Penuh Gejolak.

Menjelang satu tahun usia pemerintahan SBY-Boediono, berbagai maneuver politikpun muncul saling menyusul yang menunjukan situasi politik semakin memanas. Sejumlah persoalan penting bangsa seperti, penegakan hukum, keamanan, ekonomi, politik dan kesejahteraan rakyat menjadi issu utama. Lembaga-lembaga survei menyimpulkan apresiasi public merosot tajam. Kondisi ini lebih buruk dibandingkan dengan penilaian masyarakat pada kurun waktu yang sama atas KIB I.

Katakanlah penilaian masyarakat belum tentu semuannya benar, namun penerapan bidang politik, hukum dan keamanan dalam satu tahun terakhir yang penuh gejolak, tampaknya penilaian masyarakat itu bisa masuk akal. Beberapa penerapan dari issu utama diatas secara konkret dapat kita lihat dari penegakan hukum yang pilih kasih.

Kasus hukum yang melibatkan seorang mafia hukum kelas kakap seperti Sjahril Djohan divonis 18 bulan potong masa tahanan, menjadi sangat tidak berimbang dengan hukum yang diterima pencopet atau penipuan kelas teri yang bernilai juataan rupiah. Betapa njomplang hukuman yang diberikan kepada para koruptor dan terhadap mereka yang ingin mempertahankan hidup akibat pengangguran dan kemiskinan.

Tampaknya korupsi bukan lagi sebagai kejahatan luar biasa yang mengancam dan menghancurkan Negara atau bermotif politik, melainkan kejahatan biasa yang hukumannya tidak berbeda dengan nenek yang memungut tiga buah cokelat yang jatuh dari pohon perkebunan milik pengusaha. Sementara mereka pencopet harus menerima hukuman yang amat berat dan disiksa tanpa motif politik apaupun.

Tindakan penyiksaan dan ketimpangan hukuman menyebabkan adanya simpati masyarakat, sehingga tidak sedikit terjadi keributan di kantor pengadilan dan penyerangan terhadap kantor polisi. Tindakan kekerasan dan ketimpangan hukum dinilai tidak adil dan semena-mena. Ironis, dikala kita sedang semangat membangun kebersamaan diantara anak bangsa, ternyata ada tindakan semena-mena terhadap sesama anak bangsa.

Termasuk bagaiman polisi menangani demo brutal mahasiswa dan kembalinya teroris. Kita tidak setuju dengan aksi-aksi brutal, namun pendekatannya bukan penjegahan yang dilakukan melainkan seolah Negara memelihara gejolak. Entah ini kebetulan atau rancangan scenario besar penanganan gejolak, faktanya aksi itu selalu muncul disaat issu politik lain sedang terjadi dinegeri ini.

Akhir-akhir ini kita pun dihadapkan persoalan politik. Tampaknya politisi dan petinggi Negara tidak lagi peduli dengan kondisi lapangan melainakan sibuk soal reshuffle kabinet karena hal ini terkait langsung dengan kepentingan dirinya, kelompok atau partainya. Disini sangat berbahaya jika SBY melakukan reshuffle Kabinet bukan atas dasar merit systim , melainkan atas penjatahan kursi kabinet bagi partai-partai politik pendukung. Jika ini betul terjadi, maka pendekatan politik lebih dipilih Presiden dalam penggantian kabinet. Hal inipun tidak mustahil akan menjadi moment munculnya gejolak-gejolak lain.

Sadar atau tidak sadar, para petinggi Negara memang lebih sibuk bagi-bagi kekuasaan diantara mereka sendiri , bukan ingin berkarya dan berbakti bagi bangsa seperti sumpah yang telah mereka ucapkan. Pancasila, UUD 45, dan Nasionalisme sebagai perwujudan kedaulatan rakyat yang dibangun begitu kokoh oleh pendiri bangsa, ternyata luluh lanta oleh perilaku politik dan petinggi Negara. ****

Tidak ada komentar: