Selasa, 02 November 2010

Apa Kabar Desaku

APA KABAR DESAKU ?

Ditandai oleh fenomena arus mudik ( dan balik ) mereka yang bekerja di kota – kota besar kedaerah asal pd lebaran tahun ini. Arus mudik dari Jakarta dan kota-kota besar lain Indonesia ke seluruh pelosok tanah air untuk lebaran dikampung halaman bersama sanak saudara tercatat mencapai 15,5 juta orang. Hal ini terjadi setiap tahun pada H – sebelum dan H + setelah lebaran dan telah berjalan puluhan tahun . Tingginya jumlah pemudik ini membuat pikiran saya menerawang pada pertanyaan. Ada apa dengan desaku .. ?. Penerawangan sayapun menggambarkan ada masalah yang mendasar yaitu ketimpangan pembangunan kota dan desa.

Sumber daya manusia didesa banyak yang mencari pekerjaan “ layak “ dan melakukan aktivitas ekonomi dikota besar ( urbanisasi ). Kondisi yang memperlihatkan bahwa pembangunan ekonomi pedesaan tidak tersentuh secara baik dan ini juga berarti otonomi tidak mampu mendinamisasi pembangunan ekonomi berbasis pemberdayaan social ekonomi pedesaan.

Ketimpangan yang nyata

Kita tinggalkan saja sentralisme kekuasaan selama kurang lebih 32 tahun karena sudah tergantikan oleh otonomi daerah. Namun, fakta sentralisme masih mencekram begitu kuat dalam proses pembangunan nasional, yaitu ketimpangan wilayah yang terpusatnya populasi di kota. Kata Kanbur dan Venables, gejala-gejala dari penyakit ketimpangan wilayah mencakup rendahnya kualitas pendidikan pedesaan, infrastruktur yg jelek, aktivitas perbankan rendah, kebijakan pembanguan berbasis eksploitasi sumber daya alam semata serta tidak tersedianya lapangan kerja berbasis karakter social ekonomi daerah yang mencukupi.

Dalam kacamata ekonomi, gejala-gejala ketimpangan ini berdampak pada rendahnya angka pendapatan. Berbalik tajam dengan kota-kota besar aktivitas pembangunan mengalami percepatan dengan laju yang luar biasa. Ilmuan social menyepakati bahwa ketimpangan wilayah bersumber pada rendahnya kualitas kepemimpinan daerah dalam mendorong pembangunan. Saya bilang, “otonomi daeah telah melahirkan raja-raja kecil yg gigih membangun kekuasaan dinasti lokal yang mengabaikan substansi kekuasaan demokrasi”. ( baca 2 artikel saya ‘ birokrasi tidak jujur dan politik anggaran daerah’ Lombok Pos ).

Korupsi yang mencapai 60,6 % melibatkan kepala daerah propinsi, kabupaten dan kota pada umumnya disebabkan kebijakan pembangunan bersifat pragmatis seperti pertambangan asal jadi dengan alasan memicu pendapatan daerah secara instan tanpa diimbangi oleh aktivitas produktif lain berbasis kreativitas ekonomi daerah. Pembangunan pertanian yang menjadi karakter dan aktivitas umum ekonomi pedesaan masih lumpuh dari kebijakan-kebijakan daerah yang kreatif. Fenomena ini dipandang sinis oleh public bahwa aktivitas pertanian dianggap bukan ‘ ladang basah ‘ bagi pemimpin daerah dan birokrasi local untuk dikorupsi, sehingga selalu ‘ terpinggirkan’.

Urbanisasi memberi gambaran disparitas pembangunan desa dan kota. Sepertinya pihak-pihak yang berkepentingan belum memiliki langkah konkret meminimalisasi permasalahan tersebut. Sementara urbanisasi terus melangkah dengan motif ekonomi. Kondisi ini hanya bisa diatasi dengan pemantapan good governance melalui reformasi birokrasi dan meningkatkan partisipasi public dalam proses politik pembangunan.

Otonomi semestinya lebih strategis mengatasi ketimpangan ini. Langkah penguatan pembangunan pertanian dan peternakan berbasis di pedesaan sudah harus dilakukan untuk penyeimbangan. Saat ini kebijakan pembangunan pertanian daerah belum ada yang serius, kecenderungannya daerah memilih eksploitasi sumber daya alam dari pada memperkuat sector produktif pertanian dan lainnya.

Desa tetap terpinggirkan, kota dan desa sering digambarkan kedalam dua aktivitas ekonomi berbeda. Kota memiliki aktivitas industry dan jasa, sedangkan desa memiliki aktivitas ekonomi pertanian dan tradisionalisme social. Tidak ada substansi yang perlu dirubah dari ciri aktivitas ini, namun dibutuhkan penanganan optimal supaya tidak terjadi ketimpangan pembanguanan. Sehingga fenomena mudik yang terjadi tidak lagi meledak seperti sekarang ini dan kita-pun tidak lagi bertanya “ apa kabar desaku “.***

Tidak ada komentar: